Melalui
Traktat London tanggal 17 Maret 1824, Belanda menyerahkan Malaka dan Tumasik
kepada Inggris. Sedangkan Inggris, menyerahkan Bencoolen kepada Belanda. Perjanjian ini dilakukan untuk
mengatasi konflik yang bermunculan akibat pemberlakuan Perjanjian
Britania-Belanda 1814. Jadi, berdasarkan perjanjian itu, Bencoolen jadi milik Belanda, dan Malaka serta Tumasik jadi
milik Inggris. Itu mereka lakukan agar mudah mengontrol wilayahnya
masing-masing, karena jajahan Inggris berada di Semenanjung Melayu dan jajahan
Belanda di Nusantara.
Nama Bengkulu –Bencoolen diperkirakan diambil dari sebuah nama bukit di Cullen,
Skotlandia, Bin
of Cullen (atau variasinya, Ben Cullen). Sumber tradisional
menyebutkan bahwa Bengkulu atau Bangkahulu berasal dari kata ‘Bangkai’ dan
‘Hulu’ yang maksudnya: ‘bangkai di hulu’. Konon menurut cerita, dulu pernah
terjadi perang antara kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Bengkulu. dan dari
pertempuran itu banyak menimbulkan korban dari kedua belak pihak di hulu sungai
Bengkulu. Korban-korban perang inilah yang menjadi bangkai tak terkuburkan di
hulu sungai tersebut maka tersohorlah sebutan Bangkaihulu yang lama-kelamaan
berubah pengucapan menjadi Bangkahulu atau Bengkulu. Penamaan seperti ini mirip
dengan kisah perang antara pasukan Majapahit dengan pasukan Pagaruyung di
Padang Sibusuk –daerah sekitar bekas
wilayah kerajaan Dharmasraya, yang juga mengisahkan bahwa penamaan Padang
Sibusuk itu dari korban-korban perang yang membusuk di medan perang. Sumber
lain menyebutkan, nama Bengkulu berasal dari bahasa Melayu dari kata “Bang”
yang berarti: Pesisir dan “Kulon” yang berarti: Barat, kemudian terjadi
pergeseran pengucapan Bang berubah menjadi Beng dan Kulon menjadi Kulu.
Sedangkan cerita yang lebih banyak dikenal di masyarakat Bengkulu tentang asal
usul nama Bengkulu, yaitu diambil dari kisah perang melawan orang Aceh yang
datang hendak melamar Putri Gading Cempaka –anak
Ratu Agung Sungai Serut. Lamaran tersebut ditolak, sehingga menimbulkan
perang. Anak Dalam –saudara kandung Putri
Gading Cempaka yang menggantikan Ratu Agung sebagai Raja Sungai Serut,
berteriak “Empang ka Hulu ” yang berarti hadang mereka dan jangan biarkan
mereka menginjakkan kakinya ke tanah kita. Dari kata-kata tersebut maka
lahirlah kata Bangkahulu atau Bengkulu.
Malacca |
Malaka
dan Tumasik
Setelah kolonial Portugis masuk ke
Semenanjung Malaka pada tahun 1511, Belanda berhasil mengalahkan Portugis
dibantu Kerajaan Johor. Mereka pun berhasil menduduki wilayah tersebut, namun
bukan menyerahkan kepada Kerajaan Johor. Malaka, malah justru masuk daerah jajahan Belanda. Malaka Belanda (1641-1824) adalah
periode terpanjang Malaka di bawah kekuasaan asing. Belanda menguasai Malaka
selama hampir 183 tahun. Namun, Belanda lebih memilih Batavia –Jakarta sebagai pusat ekonomi dan
administratif di wilayah kekuasaan mereka. Menguasai Malaka, hanya untuk
mencegah wilayah tersebut dikuasai oleh negara Eropa lainnya. Berdasarkan
Traktat London tanggal 17 Maret 1824, Belanda memperoleh daerah Bengkulu –meski harus menyerahkan Malaka dan Tumasik (Singapura)
kepada Inggris. Belanda memandang Bengkulu sebagai wilayah yang potensial
dengan kekayaan alam yang melimpah, salah satunya bahan tambang emas yang
dimiliki daerah Lebong. Melihat potensi tersebut dan setelah Bengkulu menjadi
miliknya, maka Belanda berusaha mendirikan tambang-tambang emas di daerah
Lebong. Eksplorasi dan pertambangan emas pertama kali dilakukan Belanda di
Lebong Donok pada tahun 1897 oleh Lebonggoud Syndicaat. Selain di Lebong Donok,
tambang emas juga ditemukan di Tambang Sawah –yang mulai dieksplorasi pada tahun 1901. Secara keseluruhan
pertambangan emas di dua daerah tersebut berlangsung sampai dengan tahun 1941 –karena telah dianggap habis. Selain
mengeksplorasi tambang emas di Lebong, Belanda juga membuka perkebunan teh di
daerah Kabawetan.
Selebar,
Bencoolen, Bengkulu
Pada pertengahan abad ke-13 sampai
dengan abad ke-16, di daerah Selebar –Bengkulu
terdapat 2 kerajaan, yaitu: Kerajaan Sungai Serut dan Kerajaan Selebar. Pada
tahun 1685, Inggris masuk ke Bengkulu yang dipimpin oleh Kapten J. Andiew
dengan menggunakan 3 Kapal yang bemama: The Caesar; The Resolution; dan The
Defence. Inggris menguasai Bengkulu, selama kurang lebih 139 tahun (1685-1824).
Dalam masa ini, ratusan prajurit Inggris meninggal karena kolera, malaria dan
disenteri. Kehidupan di Bengkulu pada saat itu, sangat menyusahkan bagi orang
Inggris. Selain jauhnya jarak –perjalanan
pelayaran dari Inggris ke Bengkulu memakan waktu 8 bulan, sering terjadi
juga pertempuran-pertempuran dengan penduduk setempat
Benkulen |
British East India Company (EIC) sejak
1685 mendirikan pusat perdagangan lada di Bencoolen –demikian orang Inggris menyebut
Bengkulu dan kemudian gudang penyimpanan
di tempat yang sekarang menjadi Kota Bengkulu. Saat itu, ekspedisi EIC dipimpin
oleh Ralph Ord dan William Cowley untuk mencari pengganti pusat perdagangan
lada –setelah Pelabuhan Banten jatuh ke
tangan VOC Belanda, dan EIC Inggris dilarang berdagang di sana. Traktat
dengan Kerajaan Selebar pada tanggal 12 Juli 1685 mengizinkan Inggris untuk
mendirikan benteng dan berbagai gedung perdagangan. Kemudian Benteng York
didirikan oleh Inggris tahun 1685 di sekitar muara Sungai Serut, yang berfungsi
sebagai benteng dan gudang..
Sejak 1713 di bawah pimpinan wakil
Gubernur British East India Company (EIC) yaitu Joseph Collet, dibangun benteng
Marlborough (selesai 1719) –hingga
sekarang masih tegak berdiri. Namun demikian, perusahaan ini lama kelamaan
menyadari tempat itu tidak menguntungkan karena tidak bisa menghasilkan lada
dalam jumlah yang mencukupi. Karena kesombongan dan keangkuhan Joseph Collet,
begitu Benteng Marlborough selesai dibangun pada tahun 1719 rakyat Bengkulu di
bawah pimpinan Pangeran Jenggalu menyerang pasukan Inggris di Ujung Karang,
sampai akhirnya Benteng Marlborough berhasil mereka kuasai serta Inggris
dipaksa meninggalkan Bengkulu –peristiwa
heroik ini sampai sekarang diperingati sebagai hari jadi Kota Bengkulu.
Namun pasukan Inggris kembali lagi ke Bengkulu, dan perlawanan rakyat Bengkulu
terhadap Inggris tetap berlanjut. Pada tahun 1807 resident Inggris Thomas
Parr dibunuh dalam suatu pertempuran melawan rakyat Bengkulu. Parr diganti
Thomas Stamford Raffles, yang berusaha menjalin hubungan yang damai antara
pihak Inggris dan penguasa setempat.
Sejak dilaksanakannya Perjanjian London
pada tahun 1824, Bengkulu diserahkan ke Belanda, dengan imbalan Malaka
sekaligus penegasan atas kepemilikan Tumasik –Singapura dan Pulau Belitung. Alasannya, karena Gubernur Inggris
Sir Thomas Stamford Raffles memandang Tumasik lebih strategis. Sejak perjanjian
itu, Bengkulu menjadi bagian dari Hindia Belanda. Bengkulu dalam bahasa Belanda
disebut Benkoelen atau Bengkulen.
Traktat
London, Ruislag/Tukar-Guling Koloni
Inggris dan Belanda melakukan
persetujuan melalui Traktat London –Perjanjian
London pada 17 Maret 1824, yang berisikan: pertukaran daerah koloni antara
Inggris dan Belanda. Dalam perjanjian tersebut, dijelaskan bahwa Belanda
menyerahkan Malaka dan Semenanjung Melayu –termasuk
Penang dan sebuah pulau kecil tidak bertuan –Tumasik/Singapura kepada Inggris. Sedangkan, Britania –Inggris menyerahkan pabriknya di Bencoolen
–Bengkulu dan seluruh kepemilikannya di
pulau Sumatera kepada Belanda. Pertukaran kekuasaan ini juga termasuk dalam
Kepulauan Karimun, Batam, dan pulau-pulau lain yang terletak sebelah Selatan
dari Selat Singapura. Perjanjian tersebut dilakukan pada 17 Maret 1824 di
London, dimana Belanda diwakili oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck,
sedangkan Inggris diwakili oleh George Canning dan Charles Watkins Williams
Wynn. Perjanjian ini dilakukan untuk mengatasi konflik yang bermunculan akibat
pemberlakuan Perjanjian Britania-Belanda 1814. Jadi, berdasarkan perjanjian
itu, Bengkulu jadi milik Belanda, dan Malaka serta Tumasik jadi milik Inggris.
Itu mereka lakukan agar mudah mengontrol wilayahnya masing-masing, karena
jajahan Inggris berada di Semenanjung Melayu dan jajahan Belanda di Indonesia. Tetapi
penjanjian Inggris-Belanda telah memecahkan kawasan jajahan Johor yaitu
Riau-Lingga dan sebagian besar Sumatera.
Taktik
Raffles
Berakhirnya pemerintahan Sir Thomas
Stamford Raffles di Nusantara, ditandai dengan adanya Convention of London pada
tahun 1814. Perjanjian tersebut ditandatangani di London, oleh wakil-wakil
Inggris dan Belanda. Isinya:
1.
Nusantara
dikembalikan kepada Belanda;
2.
Jajahan
Belanda, seperti: Sailan, Kaap Koloni, dan Guyana, tetap di tangan Inggris;
3.
Cochin
(di pantai Malabar) diambil-alih oleh Inggris, sedangkan Bangka diserahkan
kepada Belanda sebagai gantinya.
Raffles yang sudah terlanjur tertarik
kepada Nusantara, sangat menyesalkan lahirnya Convention of London ini. Akan
tetapi, Raffles cukup senang karena bukan ia yang harus menyerahkan kekuasaan
kepada Belanda, melainkan penggantinya yaitu: John Fendall, yang berkuasa hanya
lima hari. Raffles kemudian diangkat menjadi gubernur di Bengkulu yang meliputi
wilayah Bangka dan Belitung.
Setelah gagal membujuk Imam Bonjol agar
memihak kepada Inggris, sejak tahun 1818 Raffles mengalihkan perhatiannya ke
Selat Malaka yang sangat strategis sebagai lalu lintas perdagangan
internasional. Sesuai dengan Konvensi London 1814, Belanda beranggapan bahwa
Selat Malaka berada di bawah kekuasaannya. Pada tahun 1818, Malaka jatuh ke
tangan Belanda. Raffles yang cerdik, kemudian mendirikan Singapura pada tahun
1819 yang dibelinya dari Tengku Husein, Sultan Johor. Peristiwa ini menimbulkan
protes keras dari Belanda, bahwa Inggris telah melanggar Konvensi London. Namun
Raffles menjawabnya bahwa daerah yang harus dikembalikan kepada Belanda,
hanyalah daerah-daerah yang dulu direbut Inggris dari Belanda. Selebihnya,
Inggris bebas mengadakan perjanjian dengan raja-raja dari daerah yang tidak
direbutnya. Konvensi London memang tidak jelas menyebut daerah-daerah yang
harus diserahkan, sehingga Inggris dan Belanda mempunyai penafsiran
sendiri-sendiri.
Berdirinya Singapura, menimbulkan
perselisihan mengenai batas wilayah kekuasaan pendudukan Inggris dan Belanda.
Masalah ini kemudian diselesaikan melalui Treaty of London pada tahun 1824 yang
isinya sebagai berikut:
1.
Kedua
negeri (Inggris dan Belanda) berhak untuk saling memasuki wilayah jajahan
masing-masing;
2.
Belanda
menarik diri dari jajahannya di Asia Daratan, yaitu: Benggala, Gujarat, Malaka,
dan Singapura;
3.
Inggris
menarik diri dari Nusantara dan menyerahkan Bengkulu, Bangka, dan Belitung;
4.
Kemerdekaan
Aceh dihormati oleh kedua belah pihak, karena Aceh dijadikan bufferstaat, yaitu
daerah pemisah kekuasaan Belanda di Nusantara dengan kekuasaan Inggris di Malaka dan Singapura;
5.
Inggris
dan Belanda bertanggung jawab atas keamanan di Selat Malaka.
Traktat London ini merupakan kemenangan
besar bagi Inggris dalam menguasai jalur pelayaran internasional di Selat
Malaka. Bagi Belanda, Traktat London menjadi penghalang untuk meluaskan daerah
jajahannya ke wilayah Sumatera bagian Utara –Aceh. Pada tahun 1873 ditandatangani sebuah perjanjian antara
Inggris dan Belanda, yang dikenal dengan Traktat
Sumatra. Isi pokok dari perjanjian tersebut adalah Inggris tidak akan
menghalang-halangi upaya Belanda untuk meluaskan wilayah ke Sumatera bagian
Utara (Aceh). Perjanjian inilah, yang kemudian memicu terjadinya Perang Aceh
(1873-1904).
Segitiga
Emas Robusta
Kemasyuran sebagai wilayah penghasil
kopi, membuat Bengkulu; Lampung; dan Sumatera Selatan, dijuluki: Segitiga Emas
Robusta. Bangsa Belanda dan Inggris turut berperan dalam penanaman kopi di
Sumatera, meskipun dilakukan secara paksa. Inggris memasukan kopi ke wilayah
Selebar –nama Bengkulu pada waktu itu,
untuk dibudidayakan pada abad ke-17. Sayangnya, proses menghasilkan komoditas
penting itu dilakukan dengan kekerasan. Jejaknya masih dapat kita saksikan di
Bengkulu. Di dekat Fort Marlborough, berdiri monumen Thomas Parr –nama orang Inggris yang terbunuh dalam haru
biru rakyat Bengkulu melawan Inggris.
***