Ketika rencana perubahan Kurikulum 2013 mulai digulirkan, hampir semua media masa menyebutkan bahwa pendidikan kepramukaan menjadi ‘mata pelajaran’ wajib sejak Sekolah Dasar. Kontan saja, hal tersebut menimbulkan reaksi dari kalangan aktivis pendidikan kepramukaan. Namun setelah dilakukan sosialisasi dan uji publik, maka menjadi jelaslah bahwa pendidikan kepramukaan masuk dalam ‘ekstra kurikuler’ wajib sejak Sekolah Dasar. Dengan demikian, posisi pendidikan kepramukaan pada Kurikulum 2013 adalah: bukan mata pelajaran. Sebenarnya kebijakan ini bukan merupakan hal yang baru, karena dari dulu, pendidikan kepramukaan –terutama di Sekolah Dasar sudah diwajibkan alias menjadi ekstra kurikuler wajib. Pada dasarnya, pewajiban mengikuti pendidikan kepramukaan –meskipun dalam konteks sebagai ekstra kurikuler sekalipun sejatinya sudah melanggar prinsip kesukarelaan yang menjadi metode pendidikan kepramukaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 dan Anggaran Dasar Gerakan Pramuka. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui perubahan Kurikulum 2013 ini mengharapkan agar pendidikan kepramukaan dapat berperan mengembangkan nilai-nilai positif seperti: cinta tanah air; suka menolong; pengabdian; disiplin; dan jujur, serta siswa mampu berpartisipasi dalam permasalahan kemasyarakatan. Namun upaya ini akan sia-sia jika tidak disiapkan secara sungguh-sungguh agar pendidikan kepramukaan –yang menjadi ekstra kurikuler wajib benar-benar menjadi latihan, menjadi wahana pembiasaan sikap dan perilaku anak dan remaja. Pembina harus disiapkan agar tidak terjebak pada rutinitas dan terjebak pula menjadikan pendidikan kepramukaan seperti pelajaran, yakni: melakukan proses pendidikan kepramukaan seperti mengajar di kelas, bukan melakukan latihan perindukan Siaga, latihan pasukan Penggalang, ataupun latihan Ambalan Penegak.
Gerakan Pramuka Gudep 01163-01164 Pangkalan SMPN 2 Garut. |
Pada awal masa Orde Baru, karena dikhawatirkan akan ditunggangi oleh eks-PKI, maka Gerakan Pramuka dititipkan di sekolah –sehingga bermunculanlah Gugus Depan yang berpangkalan di sekolah sebagaimana kita kenal sekarang ini. Dan hal ini, akhirnya menjadi gerakan yang sifatnya masif bahkan siswa diwajibkan mengikuti kegiatan kepramukaan atau minimal menggunakan seragam pramuka pada hari tertentu di sekolah. Padahal hakekatnya pendidikan kepramukaan adalah pendidikan nonformal yang berbasis di masyarakat, bukan di sekolah. Gugus Depan berbasis masyarakat adalah pergaulan teman sebaya yang dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak sesuai dengan tahap perkembangannya di bawah bimbingan orang dewasa atau pembina. Pe-massal-an pendidikan kepramukaan di sekolah, menyebabkan penerapan sistem beregu dan sistem tanda kecakapan sebagai ‘roh utama’ pendidikan kepramukaan menjadi sulit karena keterbatasan jumlah Pembina. Bagaimana mungkin sistem beregu dan sistem tanda kecakapan dapat dijalankan oleh satu orang Pembina yang menghadapi ratusan peserta didik karena siswa di sekolah diwajibkan mengikuti pendidikan kepramukaan? Akhirnya pendekatan klasikal yang paling mungkin diterapkan, yang pada ujungnya, latihan kepramukaan menjadi ‘pelajaran kepramukaan’.
Karena itulah ketika revitalisasi Gerakan Pramuka dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tahun 2006, yang pertama kali perlu dilakukan adalah revitalisasi organisasi Gerakan Pramuka dengan mengembalikan Gugus Depan ke masyarakat. Gugus Depan berbasis masyarakat akan lebih fleksibel dalam menerapkan prinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaan, hal mana ketika Gugus Depan berada di sekolah, prinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaan sebagai ciri utama pendidikan kepramukaan sudah tereliminasi sehingga pendidikan kepramukaan kehilangan jati diri. Upaya mengembalikan pendidikan kepramukaan ke Gugus Depan berbasis masyarakat, memerlukan kesiapan adanya Pembina pramuka yang memiliki jiwa volunteer di tengah masyarakat. Sementara ini, pengkaderan Pembina pramuka menjadi titik lemah Gerakan Pramuka. Selama ini, pengkaderan Pembina pramuka lebih berorientasi pada kuantitas, bukan kualitas. Pelatihan Pembina pramuka di tingkat Cabang dan Daerah, belum mampu menciptakan kader Pembina pramuka yang militan. Hal ini dapat dimengerti, karena proses pendidikan kepramukaan yang dialami oleh calon Pembina pramuka juga bukanlah proses pendidikan kepramukaan yang bermutu. Sebagian besar menjadi Pembina pramuka adalah bagian dari tugas sebagai Pembina Kesiswaan atau diberi tugas dan tanggung jawab oleh Kepala Sekolah, bukan panggilan jiwa. Karena itulah, sulit tercipta kader pembina yang memiliki militansi sebagai Pembina pramuka. Namun demikian, tidak ada upaya yang tidak mungkin dilakukan jika kita melakukan dengan kesungguhan. Karenanya, pengkaderan Pembina pramuka yang militan –dalam arti memahami betul ide dasar pendidikan kepramukaan berikut prinsip dasar kepramukaan dan metode pendidikan kepramukaan serta bagaimana mengimplementasikannya menjadi sangat penting dalam upaya mengembalikan Gugus Depan ke basis masyarakat. Di sisi lain, hendaknya mulai disadari bahwa jumlah keanggotaan yang besar bukanlah suatu hal yang terlalu dibanggakan jika organisasi tidak mampu mengurusi anggotanya. Kondisi ini kontradiktif, karena secara kuantitas jumlah anggota Gerakan Pramuka besar namun kualitas anggotanya rendah. Ketika Gugus Depan berbasis di masyarakat maka keanggotaan tidak lagi bersifat masif namun organisasi akan lebih mampu mengurusi anggota. Pembina akan lebih optimal dan intensif melakukan proses pendidikan kepramukaan yang berkualitas berdasarkan prinsip dasar kepramukaan dan metode pendidikan kepramukaan.
Ketika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadikan pendidikan kepramukaan sebagai salah satu kebijakan dalam perubahan kurikulum 2013, maka Kemendikbud harus ikut memikul beban tanggungjawab dalam menyiapkan Pembina yang berkualitas. Pembina yang mampu mengemas latihan kepramukaan atau latihan kepanduan, bukan Pembina yang melaksanakan pelajaran kepramukaan. Dalam hal ini sudah barang tentu, Kemendikbud harus melakukan koordinasi dengan Kwartir Nasional sebagai organisasi yang menaungi Gugus Depan yang berpangkalan di sekolah. Jika tidak dilakukan, harapan tinggi pemerintah terhadap peran pendidikan kepramukaan dalam pengembangan watak dan budi pekerti anak dan remaja di sekolah, hanyalah pepesan kosong belaka. Bentuk dukungan tidak sekedar mengalokasikan dalam anggaran pemerintah (APBN/APBD), namun Kwartir Nasional Gerakan Pramuka perlu didukung dalam upaya melakukan revitalisasi dengan mengkoordinasikan pengambilan kebijakan dalam rangka meningkatkan kualitas implementasi latihan kepramukaan di Gugus Depan yang berpangkalan di sekolah.
Semantik/Kosa-kata
Haji Agus Salim, Bapak Pandu Indonesia. |
Pramuka adalah akronim dari nama “Praja Muda Karana”, yang berarti “rakyat muda yang suka berkarya”. Akronim tersebut kebetulan sama dengan kata Sansekerta “Pramuka” yang berarti: (yang) terdepan, pemimpin. Dengan kata lain, kata “pramuka” bersinonim dengan kata “pandu”. Jadi hakikat dari gerakan pramuka atau kepramukaan adalah tetap kepanduan, walaupun sebutan “pandu” tidak dipakai lagi untuk menamakan gerakan kepanduan atau anggota kepanduan Indonesia. Meskipun kata “pramuka” dianggap sinonim dengan kata “pandu”, ia jelas tidak memiliki sejarah perjuangan kemerdekaan. Sedangkan kata “pandu” punya sejarah tersebut. Ia pernah diikutkan untuk berpartisipasi aktif, terutama secara idiil, dalam merintis kemerdekaan, dalam mengobarkan kesadaran berbangsa dan bernegara, dalam menggembleng semangat perjuangan, dalam menempa jiwa patriotik. Bukan kebetulan kalau kata “pandu” ditampilkan di dalam lagu “Indonesia Raya” oleh penggubahnya, yaitu Wage Rudolf Supratman. Sebuah “kata” tidak hanya mempunyai suatu “arti” tetapi juga mengandung “pesan” tertentu yang mampu menggugah manusia, yang dapat mengaitkan perhatian atau imajinasi manusia pada suatu ideal –bila tidak demikian, untuk apa orang mencari-cari kata yang tepat untuk menamakan sesuatu. Seorang patriot, pasti merupakan Pandu bagi bangsanya. Dalam pengertian bahasa Indonesia, pemandu bukan sekadar penunjuk jalan yang benar. Seseorang yang melaksanakan tugas kepanduan pada tingkat pertama dan terakhir adalah sekaligus perintis jalan, pelindung, pembela, penyelamat dan pemimpin dari yang dipanduinya, baik dalam arti harfiah maupun dalam arti kiasan. Bila demikian, salah satu wahana kejiwaan –kalaupun bukan spritiual atau metafisis, yang ampuh dan sudah lama ada pada kita bagi pembinaan jiwa patriotisme adalah lagu kebangsaan Indonesia Raya. Di situ jelas disebut ‘’…Di sanalah aku berdiri/ Jadi pandu ibuku…..”. Tidak ada satu pun bangsa di dunia yang memiliki sarana kejiwaan yang sama dengan yang dimiliki oleh Indonesia untuk keperluan pembinaan jiwa patriotisme ini. Dengan kata lain –kecuali lagu kebangsaan Indonesia Raya, tidak ada satu pun lagu kebangsaan lainnya yang mengandung ungkapan yang sinonim dengan “pandu” (scout) dalam bahasa nasional masing-masing. Bahkan kepada setiap pandu sejak dini perlu ditanamkan, bahwa: you may loose everything but your honour.
Kilas Balik
Lord Baden Powell |
Tahun 1896, Baden-Powell (Robert Stephenson Smyth Baden-Powell, 1st Baron Baden-Powell) ditugaskan ke daerah Matabeleland di Rhodesia Selatan –sekarang dikenal dengan nama Zimbabwe, sebagai Chief of Staff di bawah Jenderal Frederick Carrington selama Perang Matabele Kedua. Dan disanalah pertama kalinya ia bertemu –dengan orang yang nanti menjadi sahabat karibnya Frederick Russell Burnham, tentara kelahiran Amerika Serikat yang menjabat sebagai kepala pasukan pengintai Inggris. Keberadaannya di sana akan menjadi pengalaman yang sangat penting, bukan hanya karena Baden-Powell berkesempatan memimpin misi sulit di wilayah musuh, tetapi saat-saat itulah ia banyak mendapat inspirasi untuk membuat sistem pendidikan kepanduan. Ia bergabung dengan tim pengintai (mata-mata) di Lembah Matobo. Burnham mulai mengajari woodcraft kepada Baden-Powell, keahlian yang juga memberikan inspirasi untuk menyusun program/ kurikulum dan kode kehormatan kepanduan. Woodcraft adalah keahlian yang banyak dikenal dan dikuasai di Amerika, tetapi tidak dikenal di Inggris. Keahlian itulah cikal bakal dari apa yang kini sering disebut Keterampilan Kepramukaan.
Keduanya menyadari bahwa kondisi alam dan peperangan di Afrika, jauh berbeda dengan di Inggris. Maka mereka merencanakan program pelatihan bagi pasukan tentara Inggris agar mampu beradaptasi. Program pelatihan itu diberikan pada anak-anak muda yang di sebut Scout Troops, isinya penuh dengan materi-materi tentang eksplorasi, trekking, kemping dan meningkatkan kepercayaan diri.
Saat itu juga merupakan kali pertama bagi Baden Powell mengenakan topi khasnya Burnham (mirip topi koboi) sebagai pengenal –dan hingga kini masih digunakan oleh anggota kepanduan di seluruh dunia. Selain itu, Baden-Powell juga menerima sangkakala (terompet) Kudu, peralatan dalam Perang Ndebele. Terompet itu nantinya ditiup setiap pagi untuk membangunkan para peserta Perkemahan Kepanduan Pertama di Kepulauan Brownsea.
Tiga tahun kemudian, di Afrika Selatan selama Perang Boer II. Baden-Powell ditempatkan di kota kecil bernama Mafeking dengan jumlah pasukan Boer yang jauh lebih banyak dari pada di tempat sebelumnya. The Mafeking Cadet Corps adalah sekelompok anak muda yang bertugas membawakan pesan untuk pasukan lain. Meskipun mereka tidak berpengalaman dalam menghadapi musuh, tetapi mereka berhasil melawan musuh serta mempertahankan kota (1899–1900), dan kejadian inilah yang juga menjadi salah satu faktor yang mengilhami Baden-Powell dalam membuat materi kepanduan. Setiap orang dalam pasukan itu menerima bedge penghargaan berbentuk jarum kompas yang dikombinasikan dengan ujung anak panah. Bedge ini bentuknya mirip dengan fleur de lis, logo yang hingga kini digunakan sebagai logo organisasi kepanduan di banyak negara di dunia.
Di Inggris Raya, orang-orang membaca berita prestasi Baden-Powell dalam memimpin Pasukan Mafeking sehingga di negara asalnya itu, ia menjadi “Pahlawan Nasional”. Hal ini memberikan keuntungan, karena buku kecil yang ditulisnya “Aids to Scouting” menjadi terjual laris. Sekembalinya ke Inggris, ia melihat bukunya telah populer dan banyak digunakan para guru untuk mendidik muridnya, dan juga para pemuda yang aktif dalam organisasi. Karena itulah, ia diminta untuk menulis ulang bukunya tersebut agar mudah dipahami oleh anak muda, terutama untuk anggota Boys’ Brigade, sebuah orgaisasi kepemudaan yang besar dan bernuansa militer. Baden-Powell mulai berpikir kemungkinan hal ini bisa berkembang jauh lebih besar. Ia mulai mempelajari materi lain yang bisa menjadi bahan pelajaran dalam kepanduan.
Scout Stone, Brownsea Island. |
Juli 1906, Ernest Thompson Seton mengirimi Baden-Powell salinan bukunya yang berjudul The Birchbark Roll of the Woodcraft Indians. Seton, adalah orang Kanada yang lahir di Inggris dan tinggal di Amerika Serikat. Ia bertemu dengan Baden-Powell bulan Oktober 1906, dan mereka saling berbagi ide tentang program pelatihan bagi pemuda. Tahun 1907, Baden-Powell menulis draft buku berjudul Boy Patrols. Pada tahun yang sama, untuk menguji idenya, ia mengumpulkan 21 (atau 22 ?) pemuda dengan latar belakang bermacam-macam (yang diundang dari beberapa sekolah khusus laki-laki di London, yakni: Poole, Parkstone, Hamworthy, Bournemouth, dan Winton Boys’ Brigade units) dan mengadakan perkemahan selama seminggu di Brownsea Island, Poole Harbour, Dorset, Inggris. Metode yang diterapkan dalam perkemahan itu adalah memberikan kesempatan pada para pemuda tersebut untuk mengatur kelompok mereka sendiri dengan membentuk kelompok kecil dan memilih salah satu anggota kelompok sebagai pemimpin.
Musim panas 1907, Baden-Powell melakukan promo dan bedah buku barunya, “Scouting for Boys”. Ia tidak sekedar menulis ulang buku “Aids to Scouting” yang lebih banyak materi kemiliterannya. Di buku yang baru itu, aspek kemiliterannya diperkecil dan digantikan dengan teknik-teknik non-militer (terutama survival) seperti: pioneering dan penjelajahan. Ia juga memasukkan prinsip edukasi yang inovatif, disebut Scout Method (metode kepanduan). Ia juga berkreasi dengan membuat game-game menarik sebagai sarana pendidikan mental.
Scouting for Boys awalnya diperkenalkan di Inggris pada Januari 1908 dalam 6 jilid. Pada tahun yang sama, buku tersebut dicetak dalam bentuk satu buku utuh. Sampai saat ini, buku tersebut di peringkat keempat dalam daftar buku best seller dunia sepanjang masa.
Mulanya, Baden-Powell diminta menjadi “pembina” organisasi The Boys’ Brigade, yang didirikan William A. Smith. Kemudian, karena popularitasnya semakin meningkat serta tulisannya tentang petualangan-petualangan di alam terbuka, banyak pemuda yang mulai membentuk kelompok kepanduan dan Baden-Powell “kebanjiran order” untuk menjadi pembina kelompok-kelompok itu. Sejak saat itulah Gerakan Kepanduan (Scout Movement) mulai berkembang dengan pesat.
Baden Powell menulis cita-citanya dalam buku petunjuknya sedemikian rupa sehingga dapat dipakai, bukan saja oleh bangsa Inggris, tetapi juga oleh bangsa Amerika, bangsa Asia, oleh tiap-tiap pemuda dari segala bangsa dengan tidak membeda-bedakan kulit, agama dan bahasa. Semua negara tidak dipaksakan untuk memakai petunjuk itu dalam kepanduannya. Ia tidak memberikan suatu cara yang terikat oleh adat sesuatu tempat atau adat nasional, juga tidak ia membuat aturan hidup yang dikutip dari suatu agama tertentu ataupun peraturan yang bersangkutan dengan politik suatu partai. Ia hanya memberikan bentuk pada suatu permainan yang bersemangat, yang mengobarkan rasa romantik pada tiap pemuda. Ia memberi pekerjaan yang menarik hati dan yang memuaskan kesukaan tiap pemuda untuk melakukan sesuatu dan membuktikan hasilnya.
Sifat-sifat Pandu (Dasa Darma): 1. Pandu itu dapat dipercaya; 2. Pandu itu setia; 3. Pandu itu wajib berjasa; 4. Pandu itu teman semua manusia; 5. Pandu itu ksatria; 6. Pandu itu penyayang binatang; 7. Pandu itu menurut perintah; 8. Pandu itu tersenyum dan bersiul dalam segala kesulitan; 9. Pandu itu hemat; 10. Pandu itu suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan; serta 11. Pandu itu bukan orang gila (pandir).
Begitulah bunyinya Sifat-sifat pandu mula-mula dan sekarang pun masih demikian pula, kecuali sedikit tambahan pada pasal 3 dan 4 dan pasal ke-10 ditambahkan setahun kemudian. Juga tambahan dari Baden Powell pada pasal ke-11 yang tidak tertulis.
Sepucuk surat dari seorang anak kecil yang diterima oleh Baden Powell berisi janji untuk tidak akan minum-minuman keras atau merokok dan ingin menjadi orang yang seberani Baden Powell, membangkitkan pikiran Baden Powell supaya pandu-pandupun mengatakan janji yang khidmat pada waktu mereka dilantik sebagai pandu. Ingat, Janji, bukan sumpah.
Janji itu bunyinya: “Saya berjanji akan bersungguh-sungguh: 1. Menetapi kewajibanku terhadap Tuhan dan Tanah Air; 2. Menolong sesama hidup bila dapat; 3. Menetapi Sifat-sifat Pandu”.
Mula-mula Baden Powell pernah menulis, bahwa uniform (seragam) itu tidak begitu perlu, sebab yang perlu ialah Jiwa dan Berbuat. Kemudian ia menulis, "Untuk seorang anak, uniform itu adalah suatu benda yang menarik perhatian dan bilamana pakaian itu pakaian seorang kelana hutan, maka segeralah pikirannya disesuaikan dengan jiwa seorang peneratas jalan: untuknya, semua itu adalah pahlawan. Uniform itu menolong mempererat persaudaraan, sebab setelah diterima oleh semua kepanduan sebagai uniform pandu, maka uniform itu menutupi tiap perbedaan tingkat dan bangsa."
Baden Powell pernah menerima sepucuk surat kawat, di dalamnya disebut: bahwa lencana (lambang) kepanduan itu adalah "mata tombak perlambang perang dan pertumpahan darah." Kawat itu segera dibalas oleh Baden Powell: "Lencana Kepanduan itu adalah bunga bakung, perlambang Perdamaian dan Kesucian."
Adapun pada zaman dulu, bunga bakung itu dipakai perlambang kerajaan oleh raja Karel dari Napels. Ketika seorang pelaut bernama Flavio Gioja memperbaiki teknik pedoman penentuan arah angin yang dapat dipakai di laut untuk kapal-kapal dengan menggunakan perlambang kerajaan tersebut, maka untuk menghormati rajanya, huruf T (Tramontana = Utara) oleh Gioja dipakai bersama-sama dengan leli perlambang rajanya itu. Sejak itulah, arah Utara dalam peta dan pedoman diberi tanda leli. Yang menarik perhatian Baden Powell ialah bahwa mata pedoman itu selalu menunjuk lurus ke atas, tidak ke kiri dan tidak ke kanan. Ketiga mata leli itu mengingatkan janji pandu yang tiga pasal. Di bawah leli pandu, terdapat semboyan: Be Prepared (perhatikan huruf pertamanya) jika dilihat baik-baik maka di bawahnya bergantung seutas tali yang bersimpul, yang memperingatkan kepada setiap pandu untuk berjasa setiap hari.
Padvinders
Dijaman penjajahan Belanda, pada tahun 1912 didirikan Indische Padvinderij cabang Nederlandse Padvinders Organisatie (NPO) oleh P John Smith atas anjuran perkumpulannya di negeri Belanda, yang pada saat pecahnya Perang Dunia I memiliki kwartir besar. Dalam waktu singkat berdirilah beberapa organisasi “Padvinders” bangsa Belanda di Indonesia, yang akhirnya pada tahun 1914 dipersatukan dalam Nederlands Indische Padvinders Vereeniging (NIPV). Padvinders adalah kosakata bahasa Belanda, padanan kata Boyscout. Pada tanggal 4 September 1917 mereka berhasil mendirikan markas utama di Weltevreden. Upacara pelantikan pengurus kepanduan Hindia Belanda pada tahun 1917 oleh istri Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Countess van Limburg Stirum – van Sminia. Semboyanmya: “Karaktervorming! Broederschap! Lichamelijke ontwikkeling! (Pembangunan Karakter, Persaudaraan, dan Pembangunan Fisik).
Gagasan Baden Powell dalam buku Scouting for Boys, sangat menarik perhatian para pemimpin bumi putera di dalam pergerakan nasional. Maka berdirilah organisasi-organisasi kepanduan yang bertujuan membentuk manusia Indonesia yang baik, sebagai putera/puteri Indonesia yang menjadi kader Pergerakan Nasional. Pada tahun 1916 didirikan Javaanse Padvinders Organisatie (JPO) atas inisiatif S.P. Mangkunegara VII di Solo, sebagai Kepanduan Nasional Indonesia yang pertama diorganisasikan secara teratur.
Sampai tahun 1922, Gerakan Kepanduan Indonesia berkembang sangat subur sebagai “onderbouw” organisasi politik atau kemasyarakatan, antara lain:
1. Budi Oetomo mendirikan Nationale Padvinderij;
2. Padvinder Muhammadiyah didirikan pada tahun 1918 oleh K.H Ahmad Dahlan yang pada tahun 1920 berganti nama menjadi Hizbul Wathan (HW);
3. Syarikat Islam mendirikan Syarikat Islam Afdeling Padvinderij yang kemudian diganti menjadi Syarikat Islam Afdeling Pandu dan lebih dikenal dengan SIAP; dan
4. Taroena Kembang.
Mulai tahun 1922, sejak para pelajar Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pelajar menaruh perhatiannya kepada kepanduan, maka bertambahlah jumlah perkumpulan kepanduan Indonesia antara lain:
· Jong Java Padvinderij (JJP) tahun 1928 diganti nama menjadi Pandoe Kebangsaan;
· Nationale Padvinderijs Organisatie (NPO) tahun 1923 di Bandung;
· Jong Indonesische Padvinderij Organisatie (JIPO) tahun 1923 di Jakarta;
· Nationale Islamietishe Padvinderij (NATIPIJ) didirikan oleh Jong Islamieten Bond;
· Indonesische Nationale Padvinderij Organisatie (INPO), gabungan dari NPO dan JIPO didirikan oleh Pemoeda Indonesia di Bandung tahun 1926;
· Pandoe Pemoeda Soematera (PPS);
· Pandoe Ansor (bagian dari Nahdlatoel Oelama);
· Federasi dari Pandu Kebangsaan, INPO, SIAP, NATIPIJ dan PPS pada tanggal 23 Mei 1928 membentuk PAPI yaitu "Persaoedaraan Antara Pandoe Indonesia". Federasi ini tidak dapat bertahan lama, karena niat adanya fusi, akibatnya pada 1930 berdirilah Kepandoean Bangsa Indonesia (KBI) yang dirintis oleh tokoh dari Jong Java Padvinders/Pandoe Kebangsaan (JJP/PK), INPO dan PPS (JJP-Jong Java Padvinderij). PAPI kemudian berkembang menjadi Badan Poesat Persaoedaraan Kepandoean Indonesia (BPPKI) pada bulan April 1938;
· Padvinders Organisatie Pasoendan (POP);
· Pandoe Kesoeltanan (PK);
· Sinar Pandoe Kita (SPK);
· Kepandoean Rakyat Indonesia (KRI);
· Kepandoean Islam Indonesia (KII);
· Islamitische Padvinders Organisatie (IPO);
· Tri Darma (Kristen);
· Kepandoean Azas Katholik Indonesia (KAKI); dan
· Kepandoean Masehi Indonesia (KMI).
Jumlah perkumpulan kepanduan Indonesia berkembang sangat banyak tetapi ikatan secara organisatoris antara satu sama lainnya tidak ada. Pada fase ini, dunia kepanduan Indonesia mengalami ‘perlombaan’ berdirinya kepanduan-kepanduan yang beraneka warna corak dan sifatnya, maka kemudian timbullah hasrat untuk bersatu.
Pandoe
Pemerintah penjajah Hindia Belanda akhirnya melarang penggunaan kosakata padvinder untuk organisasi penduduk bumiputera. Sampailah akhirnya Haji Agoes Salim mengusulkan kosakata ‘pandoe’ sebagai padanan kosakata padvinder dan ‘kepandoean’ untuk padvinderij. Pada saat itu terasa sekali bahwa kepanduan sangat bermanfaat bagi perjuangan bangsa yang sedang terjajah, sampai-sampai pemerintah Hindia Belanda kuatir akan kemajuan bangsa yang dijajahnya. Sumpah Pemuda yang dicetuskan oleh Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, benar-benar menjiwai gerakan kepanduan nasional Indonesia untuk bergerak lebih maju dalam rangka konsolidasi kekuatan nasional. Dengan meningkatnya kesadaran kebangsaan Indonesia, maka timbullah tekad persatuan antara organisasi-organisasi kepanduan nasional Indonesia. Atas kebijakan dan perjuangan para penganjurnya, maka sebagai langkah pertama pada tahun 1929 didirikan semacam badan federasi “Persaoedaraan (persatoean) antara Pandoe-Pandoe Indonesia disingkat PAPI”. Yang masuk menjadi anggotanya ialah: JJP, INPO, NATIPIJ, PPS dan SIAP, sedangkan HW belum memberikan kepastiannya. Sebagai pengurus pertama dipilih Mr. Sunarjo (INPO), Dr. Moewardi (JJP), dan Ramelan (SIAP)
Badan ini bermaksud :
a) Mempererat persaudaraan antara anggota PAPI; dan
b) Memudahkan kerjasama untuk mempertinggi nilai latihan kepanduan masing-masing.
Pusat pimpinan PAPI berada di Jakarta, sedangkan di daerah-daerah, di mana terdapat lebih dari satu kepanduan anggota PAPI, dibentuk semacam PAPI Daerah.
Dengan terbentuknya PAPI, maka tercapailah fase pertama untuk menuju ke arah persatuan. Sementara itu, rencana “panitia fusi perkumpulan pemuda” telah disetujui oleh Jong Java dan Pemoeda Indonesia –dua perkumpulan yang terbesar di kalangan pemuda (Oktober 1928). Panitia tersebut merencanakan untuk mendirikan perkumpulan baru dengan nama “Indonesia Moeda”. Putusan tersebut mempercepat proses penggabungan pandu kebangsaan menjadi satu kepanduan, yang lepas dari ikatan organisasi lain. Azas kebangsaan menjadi pokok dasar kepanduan itu dengan tidak melupakan sifat peraturan yang berlaku di kalangan kepanduan internasional, antara lain: sifat universal dengan prinsip-prinsip dasar metodik kepanduan.
Pada tanggal 13 September 1930 diresmikanlah berdirinya kepanduan baru ini dengan nama “Kepandoean Bangsa Indonesia” disingkat KBI. Untuk memperlihatkan corak haluannya, para KBI memakai setangan leher “merah-putih” dan berpanji serupa itu juga.
Gerakan Kepanduan Indonesia –seperti juga gerakan lainnya dari Bangsa Indonesia, dicurigai dan dihalangi oleh pemerintah kolonial Belanda. Larangan-larangan yang berupa perintah halus, maupun terang-terangan dikenakan kepada “Kepanduan Nasional”. Pemimpinnya ada yang ditangkap, dan pandu-pandu ditakut-takuti, banyak sekali rintangan-rintangan yang dialami pada jaman penjajahan tetapi justru itulah maka gerakan nasional tetap terpelihara hidupnya, sambil mencari jalan sendiri ke arah cita-cita bangsa Indonesia.
Berkat keteguhan dari para pemimpin, maka segala usaha untuk mematikan atau membelokkan arah tujuan kepanduan Indonesia tidak berhasil. Sebaliknya perhatian masyarakat Indonesia makin tertarik pada cara pendidikan kepanduan ini. Untuk melanjutkan cita-cita persatuan yang telah dirintis oleh PAPI, maka pada tanggal 30 April 1938 oleh KBI, SIAP, NITIPIJ dan HW diadakan konperensi bersama, yang berhasil membentuk “Badan Poesat Persaoedaraan Kepandoean Indonesia” (BPPKI). Sebagai langkah pertama untuk melaksanakan tujuannya, maka BPPKI akan menyelenggarakan perkemahan umum secara besar-besaran “All Indonesian Jamboree”. Pada tanggal 11 Februari 1941 dalam konperensi di Solo, BPPKI antara lain menetapkan untuk mengadakan perkemahan besar yang dinamakan “Perkemahan Kepandoean Indonesia Oemoem” disingkat PERKINDO di Yogyakarta tanggal 19-23 Juli 1941.
Pada permulaan bulan Maret 1942 bala tentara Jepang dengan cepat dapat menaklukan Hindia Belanda dan menguasai seluruh daerahnya. Empat bulan kemudian oleh Pemerintah Bala Tentara Jepang dikeluarkan larangan berdirinya segenap partai dan organisasi rakyat Indonesia. Walaupun demikian, diusahakan sekuat tenaga untuk mendirikan kembali organisasi kepanduan.
Pada tanggal 6 Februari 1943, pandu-pandu dari macam-macam perkumpulan yang telah dibubarkan berhasil mengadakan PERKINDO II di Jakarta. Tetapi ternyata, pemerintah militer Jepang sudah mempunyai maksud tertentu. Gerakan Kepanduan Indonesia tidak boleh dilangsungkan, dan sebagai gantinya anak-anak dan pemuda Indonesia dimasukkan dalam gerakan “Keibodan dan Seinendan”.
Tidak lama setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, berkobarlah api revolusi di seluruh Tanah Air Indonesia. Seluruh rakyat, tua dan muda bergerak serentak dan menghancurkan segala rintangan yang menghalangi atau menghambat kemerdekaan. Pada saat-saat itu pula pandu-pandu Indonesia, puteri dan putera yang telah tersebar dikalangan masyarakat, ikut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Di dalam keadaan revolusi inilah dikalangan pemimpin timbul cita-cita untuk menghidupkan kembali organisasi kepanduan Indonesia. Tetapi bentuk dan sifatnya harus berlainan dengan kepanduan pada jaman penjajahan dahulu, sesuai dengan kehendak masa dan tidak lagi terpecah belah. Pandu-pandu Indonesia harus bersatu dalam tekad dan langkahnya untuk memenuhi panggilan Ibu Pertiwi.
Sebulan sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, beberapa tokoh kepanduan berkumpul di Yogyakarta dan bersepakat untuk membentuk Panitia Kesatuan Kepanduan Indonesia sebagai suatu panitia kerja. Pada tanggal 27-29 Desember 1945 panitia kerja mengadakan Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia yang diselenggarakan di Solo, pada taggal 28 Desember 1945 kongres telah mengambil keputusan dengan bulat untuk menjelmakan suatu organisasi Kepanduan Indonesia baru, yang sifat dan wujudnya kesatuan dengan nama “Pandu Rakyat Indonesia”. Dalam upacara pelantikan yang dipimpin oleh Dr. Moewardi, keluarlah “Janji Ikatan Sakti” yang berbunyi :
a) Melebur segenap perkumpulan kepanduan Indonesia dan dijadikan satu organisasi kepanduan: Pandu Rakyat Indonesia.
b) Tidak akan menghidupkan lagi kepanduan lama.
c) Tanggal 28 Desember diakui sebagai hari Pandu bagi seluruh Indonesia.
d) Mengganti setangan leher yang beraneka warnanya dengan warna “hitam”.
Pemerintah RI mengakui Pandu Rakyat Indonesia sebagai satu-satunya organisasi kepanduan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No.93/Bag. A, tertanggal 1 Februari 1947.
Setelah berjalan setahun, maka akhir bulan Desember 1946 berlangsunglah kongres Pandu Rakyat Indonesia ke-1 di Surakarta. Selama setahun, tidak begitu banyak persoalan yang dihadapi oleh Pandu Rakyat Indonesia. Tindakan pucuk pimpinan terutama ditujukan untuk memperkuat organisasi kedalam mengingat suasana revolusi sedang menghebat di seluruh Tanah Air Indonesia. Tahun 1947 adalah tahun kelanjutan usaha Pengurus Besar dengan menghadapi banyak kesukaran, karena Belanda mulai memperlihatkan keinginannya akan melenyapkan kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Hal ini mencapai puncaknya setelah Belanda terang-terangan mengobarkan perang kolonial mulai tanggal 21 Juli 1947. Dengan adanya serbuan militer Belanda di daerah-daerah Republik Indonesia, maka hubungan dengan cabang-cabang Pandu Rakyat Indonesia di daerah-daerah yang diduduki Belanda menjadi terputus.
Pandu Rakyat Indonesia mengadakan Kongres II di Yogyakarta pada tanggal 20-22 Januari 1950. Salah satu isi keputusannya adalah: Pandu Rakyat Indonesia bukan lagi satu-satunya organisasi kepanduan di Indonesia, kepanduan harus memperhatikan dan memberi kesempatan kepada golongan-golongan khusus agama untuk menyelenggarakan kebutuhannya masing-masing. Pemerintah menetapkan hasil keputusan kongres ini dengan Keputusan Menteri PP dan K nomor 2344/Kab. tertanggal 6 September 1951. Sehingga peraturan sebelumnya, tidak berlaku lagi. Pada tanggal 16 September 1951 berdirilah Ikatan Pandu Indonesia (IPINDO) sebagai suatu federasi hasil dari konferensi wakil-wakil kepanduan yang diadakan di Jakarta, dan pada tahun 1953 Ipindo berhasil menjadi anggota kepanduan sedunia. Untuk mengurus segala soal Pandu Puteri, pada tanggal 22 Agustus 1949 dibentuk Kwartir Besar Pandu Puteri Darurat.
Pada Dirgahayu RI ke-10 Ipindo menyelenggarakan Jambore Nasional, bertempat di Ragunan, Pasar Minggu pada tanggal 10-20 Agustus 1955, Jakarta. Menjelang tahun 1961, gerakan kepanduan Indonesia telah terpecah menjadi lebih dari 100 organisasi kepanduan. Keadaan demikian dirasakan sangat melemahkan gerakan kepanduan Indonesia, meskipun sebagian dari organisasi-organisasi itu terhimpun di dalam tiga federasi, yaitu:
· IPINDO (Ikatan Pandu Indonesia);
· PAPPINDO (Persatuan Organisasi Pandu Puteri Indonesia); dan
· PKPI (Perserikatan Kepanduan Puteri Indonesia)
Mengalami kelemahan itu, maka ketiga federasi kepanduan tersebut melebur dirinya menjadi satu federasi menjadi nama: PERKINDO (Persatuan Kepanduan Indonesia). Akan tetapi, hanya kira-kira 60 saja dari 100 lebih organisasi kepanduan itu yang ikut terhimpun di dalam federasi Perkindo. Lagi pula, di dalam federasi itu sebagian dari 60 organisasi Perkindo, terutama yang menjadi “onderbouw” dari organisasi politik atau masyarakat, tetap berhadap-hadapan berlawanan satu sama lain, sehingga tetap dirasakan kelemahan gerakan kepanduan Indonesia.
Melihat kenyataan ini, oleh Perkindo dibentuk suatu panitia untuk memikirkan suatu jalan keluar. Panitia itu menyimpulkan bahwa selain lemah karena terpecah-pecah, gerakan kepanduan Indonesia itu lemah pula karena terpaku dalam cengkraman gaya tradisional/konvensional dari kepanduan Inggris pembawaan dari luar. Hal ini berakibat bahwa pendidikan yang diselenggarakan oleh gerakan kepanduan Indonesia ketika itu, belum disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan nasional Indonesia, sehingga pada waktu itu kurang mendapat respon dari masyarakat Indonesia. Kepanduan hanya bergerak di kota-kota besar, dan disitupun hanya terdapat pada lingkungan orang-orang yang sedikit banyaknya sudah berpendidikan Barat.
Pada tanggal 27 Nopember 1958 di Ciloto, Menteri PP&K Prof. Dr. Prijono mengadakan seminar dengan mengambil topik “Penasionalan Kepanduan”. Hasil seminar menyatakan bahwa kepanduan di Indonesia harus bersifat nasional dan harus berkepribadian Indonesia. Seminar “Penasionalan Kepanduan” ini oleh para pandu dirasakan sebagai upaya kaum komunis untuk menanamkan rasa permusuhannya kepada Baden-Powell yang dikatakannya sebagai “Jenderal tentara Inggris yang imperialis, kolonialis, kapitalis, dan mengidap pedofili”. Sebetulnya sejak semula gerakan kepanduan di manapun di dunia ini bersifat nasional. Hal ini ditegaskan oleh resolusi konperensi pandu antara bangsa di Kopenhagen, Agustus 1924 atau tigapuluhempat (34) tahun sebelum Prof. Prijono menyelenggarakan seminar.
Bapak Pramuka Indonesia |
Pembubaran pandu pada dasarnya merujuk pada Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, tanggal 3 Desember 1960 tentang rencana pembangunan Nasional Semesta Berencana. Dalam ketetapan ini dapat ditemukan Pasal 330. C. yang menyatakan bahwa dasar pendidikan di bidang kepanduan adalah Pancasila. Seterusnya penertiban tentang kepanduan (Pasal 741) dan pendidikan kepanduan supaya diintensifkan dan menyetujui rencana Pemerintah untuk mendirikan Pramuka (Pasal 349 Ayat 30). Kemudian kepanduan supaya dibebaskan dari sisa-sisa Lord Baden Powellisme (Lampiran C Ayat 8). Ketetapan itu memberi kewajiban agar Pemerintah melaksanakannya. Karena itulah Presiden/Mandataris MPRS pada 9 Maret 1961 mengumpulkan tokoh-tokoh dan pemimpin gerakan kepanduan Indonesia, bertempat di Istana Negara. Hari Kamis malam itulah Presiden mengungkapkan bahwa kepanduan yang ada harus diperbaharui, metode dan aktivitas pendidikan harus diganti, seluruh organisasi kepanduan yang ada dilebur menjadi satu yang disebut Pramuka. Presiden juga menunjuk panitia yang terdiri atas Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Menteri P dan K Prof. Prijono, Menteri Pertanian Dr.A. Azis Saleh dan Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa, Achmadi. Panitia ini tentulah perlu sesuatu pengesahan. Dan kemudian terbitlah Keputusan Presiden RI No.112 Tahun 1961 tanggal 5 April 1961, tentang Panitia Pembantu Pelaksana Pembentukan Gerakan Pramuka dengan susunan keanggotaan seperti yang disebut oleh Presiden pada tanggal 9 Maret 1961. Ada perbedaan sebutan atau tugas panitia antara pidato Presiden dengan Keputusan Presiden itu. Masih dalam bulan April itu juga, keluarlah Keputusan Presiden RI Nomor 121 Tahun 1961 tanggal 11 April 1961 tentang Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka. Anggota Panitia ini terdiri atas Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Prof. Prijono, Dr. A. Azis Saleh, Achmadi dan Muljadi Djojo Martono (Menteri Sosial). Panitia inilah yang kemudian mengolah Anggaran Dasar Gerakan Pramuka, sebagai Lampiran Keputusan Presiden R.I Nomor 238 Tahun 1961, tanggal 20 Mei 1961 tentang Gerakan Pramuka.
Presiden Soekarno, menyampaikan pidato agar pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI Gerakan Pramuka telah ada dan dikenal oleh masyarakat, Kamis (9 Maret 1961) yang dikenal kemudian sebagai pidato pembubaran kepanduan atau Hari Tunas Gerakan Pramuka. Presiden menyatakan hal itu dihadapan para tokoh dan pemimpin gerakan kepanduan Indonesia, bertempat di Istana Negara. Bung Karno, kental dengan ide “pionir”. Nilai-nilai idealisme kepanduan Baden Powell akan dikikis habis, karena berasal dari negara “nekolim”.
Dalam pidato Bung Karno ini, antara lain:
“There must be something wrong didalam kepanduan Indonesia. Mana pandu kita yang tahu hal pertanian beras, padi, jagung. Rakyat menghendaki supaya kita ini betul-betul hidup nanti di dalam satu masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat yang merdeka, tanpa “exploitation de l’homme par l’homme”, satu masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat yang sosialis Indonesia. Tapi pandu-pandu kita kebanyakan dari pandu-pandu kita ini didik ya biasalah …. Touwknopen, bisa mengikat tali, bisa berkemah, bisa menjadi – kata orang Belanda – woudlopers … ho bisa menyusur jalan hutan … o. Kalau hal woudloper, kita ini sebelum ada kepanduan kita ini memang dari dahulu sudah woudloper saudara saudara. Woudloper artinya ini saya ahli berjalan di hutan-hutan. Sebaliknya aku bisa memberitahu kepada saudara-saudara kekagumanku kalau melihat peri-kehidupan organisasi pemuda di luar negeri.
Saya bukan orang komunis, tetapi saya sering mendatangi negara-negara yang dinamakan negara-negara komunis …. wah….kagum kalau saya melihat.
Pernah saya datang misalnya di dalam rumah pemuda pemudi di Svelotsk atau di Shanghai atau di paling akhir ini di Sofia …. kagum-kagum.
Saya sendiri saudara-saudara melihat orangtua minta anaknya keluar dari kepanduan, karena ia tidak puas. Pandu-pandu sendiri sudah masuk minta keluar lagi, karena tidak puas. Terjadi pula dengan anakku sendiri…. Anakku sendiri dahulu saya suruh masuk kepanduan, yang mereka giat di kepanduan 6 bulan, kemudian keluar. Kena apa?...Pak, apa itu kepanduan itu, nggak bisa tahu belajar apa-apa. Ternyata 60 organisasi itu tidak benar, artinya masak kita satu bangsa yang menghadapi amanat penderitaan rakyat mempunyai 60 jumlah organisasi kepanduan. Ini harus di-retool. Harus di-retool, dijadikan satu organisasi saja dan di dalam satu organisasi ini maka diberi isi yang lain daripada yang dahulu. Bukan sekedar touwknopen, bisa apa itu bahasa Indonesianya – mbundelken tali dan melepaskan tali lagi, bukan sekedar bisa yell bukan sekedar saja bisa woudloper tidak …Saya menghendaki agar supaya semua pemuda pemudi Indonesia dididik agar supaya nanti bisa menjadi kader daripada pembangunan baik pembangunan politik maupun pembangunan sosial ekonomis, yaitu pembangunan pelaksanaan daripada amanat penderitaan rakyat.
Enampuluh ganti, robah menjadi satu.
Nanti jikalau sudah dilebur kepanduan-kepanduan ini hanya ada satu; di luar yang satu ini tidak boleh, di larang. Yang terang-terangan pandu dilarang, di luar yang satu itu, yang gecamoufleerd – pura-pura pandu atau bukan pandu tetapi sebetulnya gerakan sedemikian, pun akan saya larang. Ini camkan, saudara-saudara. Tidak boleh ada sesuatu organisasi pandu di luar yang satu ini, tidak boleh ada sesuatu organisasi – ya nanti barangkali namanya dikatakan organisasi pemuda, yang sebenarnya adalah camouflage daripada kepanduan di luar ini”.
Pihak komunis hendak mempergunakan kelemahan gerakan kepanduan Indonesia seperti tersebut di atas, sebagai alasan untuk memaksa gerakan kepanduan Indonesia menjadi gerakan pionir muda sebagaimana terdapat di negara-negara komunis. Akan tetapi kekuatan-kekuatan Pancasila di dalam Perkindo menentangnya, dan dengan bantuan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda perjuangan mereka menghasilkan Keppres RI. No. 238 tahun 1961 yang pada tanggal 20 Mei 1961 ditandatangani oleh Ir. Djuanda sebagai Pejabat Republik Indonesia. Tanggal 20 Mei 1961 inilah kemudian dikenal sebagai Hari Permulaan Tahun Kerja. Dengan dikeluarkannya Keppres RI. No. 238 itu, maka Perkindo berhasil untuk mempersatukan gerakan kepanduan Indonesia seluruhnya, dengan nama: Gerakan Pendidikan Kepanduan PRAJA MUDA KARANA (PRAMUKA). Semua organisasi kepanduan Indonesia, kecuali yang diselenggarakan oleh pihak komunis, melebur diri ke dalam Gerakan Pramuka. Di dalam Keppres tersebut ditetapkan bahwa di seluruh wilayah Republik Indonesia perkumpulan Gerakan Pramuka adalah satu-satunya badan yang diperbolehkan menyelenggarakan pendidikan kepanduan.
Pernyataan para wakil organisasi kepanduan di Indonesia yang dengan ikhlas meleburkan diri ke dalam organisasi Gerakan Pramuka, dilakukan di Istana Olahraga Senayan pada tanggal 30 Juli 1961. Peristiwa ini kemudian disebut sebagai Hari Ikrar Gerakan Pramuka.
Penyerahan Panji Pramuka kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX |
Pada tanggal 14 Agustus 1961, peresmian Pramuka oleh Presiden Soekarno. Uniform (seragam) kebanggaan Pandu Rakyat Indonesia "dilucuti", diganti dengan seragam Pramuka mirip pionir di Rusia dan Korea Utara dengan kemeja putih - celana panjang krem, topi kopiah hitam, duk putih dengan garis merah melingkar, pin tunas kelapa tanpa ada atribut apapun. Pelantikan Majelis Pimpinan Nasional (Mapinas), Kwartir Nasional (Kwarnas) dan Kwartir Nasional Harian (Kwarnari) di Istana Negara, diikuti defile Pramuka untuk diperkenalkan kepada masyarakat yang didahului dengan penganugerahan Panji-Panji Gerakan Pramuka, dan kesemuanya ini terjadi pada tanggal pada tanggal 14 Agustus 1961. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Hari Pramuka.
Pada tanggal 7 Agustus 1963, Presiden Soekarno menyatakan dalam pidatonya yang berjudul Panca Guna Pramuka: “Gerakan Pramuka adalah gerakan yang baru, organisasi baru, yang disyahkan dengan Surat Keputusan Presiden No.238 Tahun 1961 dengan tujuan, corak, tugas, fungsi dan bekerja yang baru. Bukan merupakan lanjutan dari salah satu organisasi kepanduan yang ada sebelum Gerakan Pramuka. Merupakan gerakan yang mengembangkan kepribadian nasional bukan sekali-kali merupakan jiplakan dari luar negeri”.
Setelah terjadi pengkhianatan G.30.S/PKI pada tanggal 1 Oktober 1965, maka dalam waktu yang relatif sangat singkat, terjadi suatu “Perubahan Sosial” dengan timbulnya “Orde Baru” yang menuntut pemurnian Undang-Undang Dasar 1945. Demikian pula Gerakan Pramuka tidak ketinggalan untuk menyesuaikan diri dan menyerasikan pelaksanaan tugas pokoknya dengan perkembangan masyarkat Indonesia pada waktu itu.
Pada tanggal 12 sampai dengan 20 Oktober 1970 telah diadakan Musyawarah Majelis Permusyawaratan Pramuka I di Pandaan, Jawa Timur. Salah satu hasil musyawarah tersebut adalah mengganti Anggaran Dasar Gerakan Pramuka sebagaimana terlampir pada Keppres No. 238 tahun 1961 dengan Anggaran Dasar baru yang lebih disesuaikan dan diserasikan dengan perkembangan masyarakat Orde Baru. Kemudian pada tanggal 22 Maret 1971 Anggaran Dasar baru tersebut telah disahkan dengan Keppres No. 12 tahun 1971. Ketentuan di dalam Anggaran Dasar Gerakan Pramuka tentang prinsip-prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan yang pelaksanaannya diserasikan dengan keadaan, kepentingan dan perkembangan bangsa dan masyarakat Indonesia, membawa kemudian banyak perubahan. Prinsip-prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan yang universal tetap dipegang, tetapi cara pelaksanaannya dan pengarahannya diubah, yaitu dengan keadaan dan kebutuhan nasional di tiap-tiap daerah di Indonesia. Gerakan Pramuka itu ternyata lebih kuat organisasinya, dan dalam waktu singkat organisasinya telah berkembang dari kota-kota sampai di desa-desa. Kemajuan pesat itu adalah juga berkat adanya sistim “Majelis Pembimbing” yang dijalankan oleh Gerakan Pramuka pada tiap tingkat, dari tingkat Nasional sampai tingkat Gugus Depan.
Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di desa dengan keluarga-keluarga petaninya, maka Kwarnas Gerakan Pramuka pada tahun organisasi yang pertama (tahun 1961) sudah menganjurkan agar para Pramuka menyelenggarakan kegiatan-kegiatan di bidang pembangunan pertanian dan di bidang pembangunan masyarakat desa. Maka kemudian pada tahun 1966 Menteri Pertanian dan Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka mengeluarkan suatu Instruksi Bersama yaitu pembentukan Satuan-satuan Karya Pramuka Tarunabumi. Perluasan Gerakan Pramuka sampai di desa-desa dengan kegiatan-kegiatan di bidang pembangunan pertanian dan pembangunan desa, serta pembentukan dan penyelenggaraan Satuan-satuan Karya Pramuka Tarunabumi menarik perhatian badan-badan internasional seperti FAO, UNICEF, ILO, dan World Scout Bureau, serta mendapat pujian dari masyarakat Indonesia sendiri.
Dalam perkembangan masyarakat Indonesia dewasa ini dihadapi berbagai masalah sosial, seperti kepadatan penduduk, urbanisasi, dan pengangguran. Berhubung dengan itu, maka pada tahun 1970 Menteri Transkop dan Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka mengeluarkan suatu Instruksi Bersama, tentang partisipasi Gerakan Pramuka dalam penyelenggaraan Transmigrasi dan pembinaan Gerakan Koperasi. Dan sehubungan dengan masalah “Scholl Drops Out” (anak-anak putus sekolah), maka Gerakan Pramuka juga mengarahkan perhatiannya kepada pendidikan kejuruan, untuk memberi bekal hidup kepada anak-anak dan pemuda, terutama kepada “School Drops Out” itu .
Di samping satuan-satuan Karya Tarunabumi juga ada Satuan-satuan Karya Pramuka Dirgantara, Pramuka Bahari, dan Pramuka Bhayangkara, yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan di bidangnya masing-masing.
Pada bulan Nopember 1974 telah diselenggarakan Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka di Manado, Sulut, yang menghasilkan Keputusan sebagai berikut:
· KEPMUNAS Gerakan Pramuka No. 01/MUNAS/74, tentang: Laporan dan pertanggungjawaban KWARNAS Gerakan Pramuka masa bakti 1970-1974.
· KEPMUNAS Gerakan Pramuka No. 02/MUNAS/74 tentang: Pelimpahan wewenang kepada KWARNAS Gerakan Pramuka untuk meninjau kembali ART Gerakan Pramuka.
· KEPMUNAS Gerakan Pramuka No. 03/MUNAS/74 tentang: Pengelolaan Keuangan KWARNAS dan pembentukan Panitia Verifikasi laporan keuangan Kwarnas Gerakan Pramuka.
· KEPMUNAS Gerakan Pramuka No. 04/MUNAS/74 tentang: Pedoman Dasar Rencana Kerja Gerakan Pramuka Tahun 1974-1978.
· KEPMUNAS Gerakan Pramuka No. 05/MUNAS/74 tentang: Penunjukan formatur Kwarnas Gerakan Pramuka masa bakti 1974-1978.
Masa bakti Kwarnas Gerakan Pramuka masa bakti 1974-1978 merupakan fase konsolidasi organisasi Gerakan Pramuka dan peningkatan pendidikan dan kegiatan kepramukaan antara lain dengan jalan menimbulkan “image” yang baik terhadap anak didik sendiri, bahwa Gerakan Pramuka tidak saja akan membawa dirinya ke masa depan yang cemerlang, tetapi juga menumbuhkan rasa tanggungjawab dan dapat berbuat banyak bagi pembangunan bangsa dan negara, serta dalam rangka peningkatan Ketahanan Nasional.
Kalau masa bakti Kwarnas tahun 1974-1978 merupakan fase konsolidasi bagi Gerakan Pramuka, maka setelah MUNAS 1978 yang diselenggarakan pada akhir Oktober 1978 di Bukittinggi, Sumatera Barat, diharapkan beralih kepada fase stabilisasi, baik dalam pengelolaan organisasi dan administrasi Gerakan Pramuka maupun dalam pengelolaan pendidikan dan kegiatan kepramukaan. Untuk minimal 2 kali masa bakti, Kwarnas Gerakan Pramuka diharapkan adanya peningkatan usaha ke dalam dengan mempersiapkan generasi muda melalui Gerakan Pramuka, agar: mempunyai tanggungjawab terhadap bangsa dan Negara; mempertebal kepercayaan kepada diri sendiri untuk berdikari dan berwiraswasta; serta ikut secara aktif dalam memberantas kebodohan dan kemelaratan. Juga diharapkan dapat membina kontinuitas pemupukan kepemimpinan sejak umur 7 tahun (usia pramuka siaga).
Penutup
Kepanduan (Kepramukaan) memang tidak menganut homogeniti kelompok pandu (pramuka), atau dengan kata lain tiap-tiap kelompok tidak harus sama corak warna seragamnya. Yang perlu sama adalah prinsip-prinsipnya. Pandu Rakyat Kelompok Malang 1 dan Pandu Rakyat Kelompok Malang 3 tidak sama neckerchief-nya, hanya sama warna dasarnya, HITAM. Pandu Katholik dan Pandu HW lain lagi warna dan corak neckerchief-nya, begitulah dunia kepanduan. Kepanduan itu adalah cerminan Bhinneka Tunggal Ika. Tujuan kepanduan adalah pembentukan watak dan karakter. Dilakukan dengan permainan, oleh karenanya hanya ditujukan untuk anak-anak dan remaja. Pembentukan karakter sudah tidak bisa lagi dilakukan pada orang dewasa, metode ini oleh masyarakat dunia diakui berhasil.
***