“Bahwa
Ta-shi –istilah Cina untuk menyebut Arab, mempunyai seorang Buddha –maksudnya Nabi, yang bernama Ma-ha-mat –Muhammad. Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa
selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu Pon-ni-mo-huan –Bani
Marwan dari dinasti Umayyah, serta Ta-shi
yang didirikan raja A-po-lo-pa –Abul-Abbas. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi bernama Han-mi-mo-mi-ni –Amirul
Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, mengirimkan
utusan ke istana Cina. Bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi
di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera”.
Berita Cina, Hsin-Tang-shu (Catatan
Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi (Catatan Negeri-negeri Asing) yang
ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225.
Barus, Kota Bertuah. |
Barus
dan Fansur
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa
kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau
yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang
berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer Selatan Medan.
Barus saat ini hanya sebuah ibukota kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan,
Sumatera Utara. Begitu juga dengan Desa Lobutua –sekitar 4 km ke arah Barat dari Kota Barus, juga layaknya sebuah
desa, yakni: sepi.
Barus, pesisir Barat Sumatera. |
Sebagai emporium –pelabuhan niaga samudera, Barus (Lobu Tua) diperkirakan sudah ada
sejak 3.000 tahun sebelum Masehi. Bahkan, ada memerkirakan lebih jauh dari itu
sekiar 5.000 tahun SM. Perkiraan itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummi
Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper/kamper atau kapur
Barus. Getah kayu itu yang
paling baik kualitasnya, kala itu hanya ditemukan di sekitar Barus.
Berdasarkan arsip-arsip tua berasal dari kitab suci,
misalnya di Injil Perjanjian Lama, menceritakan Raja Solomon –Nabi Sulaiman as, memerintahkan
rakyatnya melakukan perdagangan dan membeli rempah-rempah hingga ke Ophir. Ophir patut diduga
sebagai Barus/Lobu Tua. Perkiraan itu punya jejak spiritual berbentuk
kepercayaan monotheisme. Misalnya Ugamo Parmalim yang menjadi agama asli etnis
Batak, meyakini Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan Ompu Mulajadi Na Bolon.
Seorang pengembara Yunani Claudius Ptolomeus
mencatat perjalanannya hingga ke Barousai –Barus,
sekitar tahun 70 M. Dalam bukunya –Geographike Hyphegesis ia menuliskan
nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) –oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatera. Pencatat sejarah Yunani –yang menjadi gubernur di Iskandariah/
Alexandria-Mesir itu menyebutkan bahwa selain pedagang Yunani, pedagang
Venesia, India, Arab dan Tiongkok juga lalu lalang ke Barus untuk mendapatkan
rempah-rempah. Bandar niaga bernama Barousai itu menghasilkan wewangian
dari kapur barus. Diceritakan, kapur barus yang diolah dari kayu kamfer –kanper dari Barousai itu merupakan salah
satu bahan pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Fir’aun sejak Ramses II, atau
sekitar 5.000 tahun Sebelum Masehi.
Pada arsip tua India "Kathasaritsagara"
sekitar tahun 600 M, mencatat perjalanan seorang Brahmana mencari anaknya
hingga ke Barus. Brahmana itu mengunjungi Keladvipa –pulau kelapa, diduga Sumatera, dengan rute Ketaha –Kedah, menyusuri pantai Barat hingga ke Karpuradvipa
–Barus.
Bangsa Tiongkok sejak lama mengenal Barus sebagai Po
Law Che. Misalnya, dari catatan Hsuan Tsang dari era Dinasti Tang tahun 645 M
dan pengembara I Tcing, tahun 685 M.
Pedagang Arab memasuki Barus sekitar 627-643 M atau
sekitar tahun 1 Hijriyah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab
bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur
Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus,
sekitar tahun 634 M. Sejak itu, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni
di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri,
misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus
Tawarikh”.
Tome Pires –penjelajah
Portugis yang melakukan perjalanan ke Barus awal abad ke-16 mencatat Barus
sebagai pelabuhan yang ramai dan makmur.
"Kami sekarang harus bercerita tentang Kerajaan Barus yang sangat kaya
itu, yang juga dinamakan Panchur atau Pansur. Orang Gujarat menamakannya
Panchur, juga bangsa Parsi, Arab, Bengali, Keling, dst. Di Sumatera namanya
Baros (Barus). Yang dibicarakan ini satu kerajaan, bukan dua,"
demikian catatan Pires.
Penjelajah terkenal bangsa Italia Marcopolo
menjejakkan kakinya di bandar perniagaan itu pada 1292 M. Sedangkan sejarawan
muslim ternama Ibnu Bathuthah dari Maroko mengunjungi Barus pada 1345 M.
Berikutnya pelaut Portugis berdagang di Barus pada 1469 M. Sedangkan pedagang
dari berbagai belahan dunia lain menyinggahi Barus, tercatat dari Ceylon (Sri
Lanka), Yaman, Persia, Inggris dan Spanyol.
Pada tahun 1872 GJJ Deutz seorang bekas
kontrolir Belanda, banyak menemukan pecahan batu –batu Lobutua, peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang,
telah berlumut. Batu
bersurat itu bertahun Saka 1010 atau 1088 Masehi di zaman pemerintahan Raja
Cola yang menguasai wilayah Tamil, India Selatan. Prasasti itu –dengan tulisan Tamil menyebutkan bahwa paling sedikit sejak
abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Mereka
tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi
bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili,
merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak
gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Perkumpulan dagang suku Tamil
sebanyak 1.500 orang di Lobu Tua itu memiliki pasukan keamanan, aturan
perdagangan, dan ketentuan lainnya. Mereka yang berdiam di Barus inilah
yang membeli beberapa hasil dari rakyat –utamanya
kapur barus untuk diekspor ke luar negeri.
Lobu Tua di
Barus ini, ditinggalkan secara mendadak oleh penghuninya pada awal abad ke-12
sesudah kota tersebut diserang oleh kelompok yang dinamakan Gergasi.
Masuknya
Islam ke Nusantara
Makam Mahligai, Barus. |
Berdasakan buku Nuchbatuddar karya
Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di
Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Islam masuk ke Barus pada tahun 1 Hijriah –berdasarkan penemuan batu nisan Syekh
Rukunuddin, di komplek pemakaman Mahligai.
Batu nisan itu menginformasikan Syekh
Rukunuddin wafat dalam usia 100 tahun, 2 bulan dan 22 hari pada tahun
"ha"-"mim" Hijratun nabi. "ha"-"mim" ditermahkan
sebagai 8 - 40 yang kemudian dijumlahkan
menjadi 48 H. Perhitungan itu berdasarkan Ilmu Falak –astronomi dari Kitab Tajul Muluk. Namun pandangan itu disangkal, dengan alasan: bukti nisan tidak dapat
dijadikan dasar penentuan. Alasan
lainnya, dua huruf ‘Ha’ dan ‘mim’ yang menunjukkan tahun di batu nisan itu
bukan 48 H melainkan 408 Hijriah. Untuk nama, memang harus dijumlah tapi untuk
tahun harus dipadukan, sehingga menjadi 408 Hijriah.
Barus, Perkampungan Arab-Islam di pesisir Barat Sumatera. |
Makam Papan Tinggi, Barus. |
Perhitungan masuknya Islam di Barus itu, didukung
pula dengan temuan 44 batu nisan penyebar Islam di sekitar Barus bertuliskan
aksara Arab dan Persia. Misalnya batu nisan Syekh Mahmud di Papan Tinggi. Makam dengan ketinggian
200 meter di atas permukaan laut itu, hingga kini ada sebagian tulisannya tidak
bisa diterjemahkan –disebabkan tulisannya
merupakan aksara Persia kuno yang bercampur dengan aksara Arab. Syekh
Mahmud berasal dari Hadramaut, Yaman, merupakan ulama besar. Sedangkan batu
nisan menjadi pertanda makam itu banyak ditemukan di India. Sejarawan Belanda
Dr. Ph. S. Van Roenkel menyatakan Syekh Mahmud merupakan penyebar Islam pertama
sekitar 1.000 tahun lalu berhasil mengajak masuk Islam Raja Guru Marsakkot.
Namun, karena hal itu tidak disukai kalangan kerabat Raja Batak, ulama itu
kemudian dibunuh, sehingga terjadi huru-hara besar di daerah itu. Syekh
Mahmud berasal dari Hadramaut, Yaman, diperkirakan datang lebih awal dari Syekh
Rukunuddin, yakni pada era 10 tahun pertama dakwah Rasulullah Muhammad SAW di
Makkah. Masa kedatangan ulama –yang diduga
kerabat dan sahabat nabi itu, membawa ajaran Islam Tauhid tanpa Syari’at. Itu
sebabnya di makam itu belum ada penanggalan, melainkan sabda Nabi bermakna
tauhid. Selain itu, ketinggian makam itu dibanding 43 makam bersejarah
lainnya, menjadi alasan terdahulunya kedatangan Syekh Mahmud ketimbang para
penyebar Islam lainnya. Karena Barus, laut dan pantainya di perbukitan Bukit
Papan Tinggi sekitar 200 meter di atas permukaan laut. Atau paling tidak
dulunya daratan ini masih rawa-rawa dalam. Seiring dengan perubahan ekologis,
laut atau rawa-rawa itu jadi daratan. Bukti pendukung teori itu disebutkan
banyaknya ditemukan batu karang di daratan Barus sekarang, jika penggalian
dilakukan hanya semeter dari permukaan tanah. Dengan demikian, Syekh
Mahmud merupakan penyebar Islam pertama, sedangkan 43 ulama lainnya merupakan pengikut
dan murid-muridnya. Ke-43 makam ulama penyebar Islam itu di antaranya: makam
Syekh Rukunuddin, Tuanku Batu Badan, komplek Bukit Hasang, Tuanku Ambar, Tuan
Kepala Ujung, Tuan Sirampak, Tuan Tembang, Tuanku Kayu Manang, Tuanku Makhdum,
Syekh Zainal Abidin Ilyas, Syekh Ahmad Khatib Siddiq, dan makam Imam
Mua’azhamsyah. Selanjutnya makam Imam Chatib Miktibai, Tuanku Pinago, Tuanku
Sultan Ibrahim bin Tuanku Sultan Muhammadsyah Chaniago, dan makam Tuan Digaung,
serta beberapa makam lainnya. Kesemua makam dari 43 ulama itu berada di Barus
dan sekitarnya.
Selain itu, keberadaan Islam di Barus, berhubungan
langsung dengan Islam di Aceh. Beberapa temuan arsip kuno menunjukkan adanya
tiga ulama Islam terhubungkan antara Barus dan Aceh. Misalnya,
keberadaan ulama terkenal Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin as
Sumatrani paham keagamaan mereka berseberangan dengan Syekh Abdul Rauf as
Singkili. Diyakini banyak
sejarawan Islam, kedua ulama terdahulu bermukim dan menyebarkan pahamnya di
Barus, setelah paham Wujudiah mereka mendapat serangan dari Syekh Abdur Rauf as
Singkili dan tidak diakui di Kerajaan Islam Samudera Pasai Aceh.
Kapur Barus dan Kemenyan,
melambungkan nama Barus
Kota Barus ini segera membawa ingatan
kita pada kapur barus –kamfer dalam
bahasa Belandanya, mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa
Arab. Begitu pula kemenyan –beruoe
dalam bahasa Belanda, mungkin dari kata Arab (lu) ban-jawi atau kemenyan
Sumatera. Kapur barus dan kemenyan tersebut sudah lama sekali diekspor dari
Barus di samping hasil-hasil lainnya seperti: emas, gading gajah dan cula
badak. Tetapi, kapur barus yang paling penting, sebab komoditi inilah yang
membuat kota Barus begitu terkenal di dunia waktu itu. Kapur barus asal kota
Barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik,
paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebi mahal daripada kapur-kapur
barus asal tempat lain –Marco Polo pernah
menyebut, harga kapur barus seperti emas dengan berat yang sama. Dapat
dibayangkan bagaimana majunya sebuah daerah yang memegang monopoli suatu
komoditas –kapur barus dan kemenyan
yang sangat dicari “dunia maju” tempo dulu, baik di Asia maupun Afrika bagian
utara dan mungkin di Yunani. Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu, yaitu: kapur
barus dari Kalimantan dan Sumatera –Dryobalanops
aromatica, kapur barus dari China dan Jepang –Cinnamomum Camphora, yang banyak beredar di pasaran dan yang ketiga
adalah Blumea balsamifera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus
Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal
dari kapur barus China dan Jepang –Hobson-Jobson,
Glossary of Anglo-Indian Words and Phares.
Barus dalam media cetak |
Tempat yang menghasilkannya memang
terbatas, yaitu di kawasan dekat sebuah anak sungai yang bernama Sungai
Singkel. Hasil kapur barus dibawa ke Singkel –kini: Singkil melalui Sungai Singkel, kemudian diangkut melalui
jalan darat, dan akhirnya sampai di Barus. Walau untuk ke pelabuhan Barus dari
arah laut agak sulit –jika dibandingkan
dengan keadaan di pelabuhan Singkel atau Sibolga, tetapi Barus tetap
menjadi pelabuhan terpenting pada abad ke-16, sebagaimana dilaporkan oleh Tomé
Pires. Selain kapur barus ini masih ada lagi komoditas lain, yaitu: kemenyan.
Kemenyan ini tumbuh di hutan-hutan Bukit Barisan di daerah Tapanuli dan Dairi. Sesungguhnya,
Dairi termasuk daerah penghasil kapur barus dan kemenyan yang diekspor melalui
Barus di sepanjang sejarah Kota Barus. Barus hanyalah merupakan pelabuhan yang
menjadi tempat perdagangan kapur barus dan kemenyan, tapi Dairi termasuk daerah
yang menghasilkan kedua komoditas tersebut. Di sinilah sebenarnya peranan
Dairi di dalam sejarah Barus, sehingga sejarah Dairi merupakan bagian dari
sejarah Barus yang sudah berlangsung sejak ribuan tahun. Sejarah Dairi, tidak
dapat dipisahkan dari sejarah Barus.
Dalam naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah
menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan
komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan
Masehi. Sementara Prof. Kern pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang
dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain adalah: Barus.
Kamper
Bila di Korea dan Jepang, pohon yang
menghasilkannya dikenal dengan nama Cinnamomum camphora dari keluarga
Lauraceae, maka kamper asli dari daerah Barus, yang disebut kapur Barus
atau kapur Borneo diperoleh dari pohon Dryobalanops aromatica Gaertn, yang
masuk dalam keluarga Dipterocarpaceae. Istilah yang dipakai dalam bahasa
beberapa bangsa di benua Eropa untuk penyebutan kamper itu dipinjam dari bahasa
Arab: kafur –dari kata alcanfar.
Dalam beberapa bahasa terdahulu terdapat penyebutan yang hampir serupa, seperti
kafura –dalam bahasa Sanskerta dan
kapor –dalam bahasa Khmer.
Berdasarkan semua alasan ini, pakar etimologi berpendapat bahwa semua
penyebutan tersebut berasal dari bahasa Melayu, kapur.
Pohon Kamper, Kapur Barus. |
Kapur barus atau kamper adalah zat padat berupa lilin
berwarna putih dan agak transparan dengan aroma yang khas dan kuat. Zat ini
adalah terpenoid dengan formula kimia C10H16O. Zat ini
ditemukan dalam kayu tanaman jenis pohon laurel kamper –Cinnamomum camphora, pohon besar yang
ditemukan di Asia, terutama di Sumatera, Kalimantan dan Taiwan, juga pohon Dryobalanops
aromatica, pohon besar yang tumbuh di hutan Kalimantan. Kamper juga dapat
disadap dari pohon-pohon jenis lain dari keluarga laurel, misalnya Ocotea
usambarensis. Daun rosemary kering –Rosmarinus officinalis, dan
keluarga tanaman mint lainnya juga mengandung hingga 20% kamper. Kapur barus
juga dapat dibuat secara sintetis dari terpentin. Zat ini biasanya digunakan
sebagai wewangian, sebagai bumbu makanan –hanya
di India, serta sebagai cairan pembalseman, untuk keperluan obat-obatan,
kimia, ataupun upacara keagamaan. Bahan pembuat kamper utama di Asia adalah selasih
kamper.
Kamper, Kapur Barus. |
Sebagian besar pohon kapur tumbuh di
belahan utara garis 3° LU, dan hanya sebagian kecil yang tumbuh di bagian timur
Pulau Sumatera. Pohon kapur tumbuh liar pada tanah datar –dengan serapan air yang baik maupun pada daerah lereng bukit di
hutan tropis yang mencapai ketinggian hingga 500 meter dari permukaan laut.
Umumnya pohon ini tumbuh dengan ukuran diameter batang yang besar dan membentuk
barisan pohon dengan ketinggian yang relatif sama dan rata. Diketahui
bahwa pada abad ke-17, selain di daerah Barus pohon ini juga banyak tumbuh di
daerah Dairi dan Kelasan yang merupakan daerah pegunungan, serta di tepi sungai
Cinendang, Singkel. Ciri pohon kapur adalah batangnya yang tegak lurus dengan
tinggi mencapai 60 hingga 70 meter dan diameter batang pohon minimum 70 cm.
Kayu dari pohon kapur barus disenangi sebagai bahan bangunan dan perabot rumah
karena mudah diolah, tahan lama, dan tidak termakan atau dirusak serangga
perusak tiang-tiang kayu. Daunnya kecil, lonjong agak kebulat-bulatan, tulang
daun sejajar, dan berakhir di ujung yang panjang. Unsur yang dimanfaatkan dari
pohon kapur ini adalah kristal kapur dan minyak kapur. Kristal kapur diperoleh
pada bagian tengah –bagian dalam
batang pohon. Kedua unsur tersebut tidak selalu ada pada pohon kapur terutama
pada pohon yang berusia ratusan tahun. Proses pengambilan kristal kapur
meliputi beberapa tahap, mulai dari memilih dan menebang, kemudian memotong
batangnya dalam bentuk balok-balok. Tidak selamanya pemilihan pohon berhasil
mendapatkan barang yang dicari. Penebanganpun dilakukan secara sembarangan
sebelum menemukan sebatang pohon yang berisikan cukup kapur barus. Bila
kemudian ditemukan pohon yang memang berisikan cukup kapur barus, barulah
dilakukan proses pengumpulan/pengambilannya. Ada dua cara untuk itu: Pada cara
pertama, potongan balok kayu dimaksud dikumpulkan dan satu-persatu dibelah.
Dari setiap potongan balok inilah diperoleh kristal kapur. Pengambilan kristal
kapur itu juga dapat dilakukan dengan cara mentakik tiap potongan balok.
Dari satu pohon yang ditebang dapat diperoleh sekitar 1,5 hingga 2,5 kilogram
kristal kapur dengan kualitas yang berbeda, yang biasanya diistilahkan dengan
sebutan kapur atas dan kapur bawah. Kristal kapur yang terbaik ditemukan dalam
ukuran besar berbentuk bilah-bilah kristal berwarna putih dan transparan,
sedangkan kualitas yang tidak terlalu baik –kualitas
rendah disebabkan karena dalam kristal kapur itu bercampur bahan lain
berupa serbuk –serpihan kulit kayu
pohon. Percampuran ini terjadi ketika kristal kapur diambil dengan cara
menggaruk bagian permukaan batang. Untuk memisahan kristal kapur dari serbuk
kayu dilakukan perendaman dalam air. Hasil rendaman dimasukkan dengan memakai
saringan ke dalam wadah berbentuk lubang-lubang. Melalui proses penyaringan ini
serbuk kayu akan tertinggal sehingga diperoleh kristal kapur murni. Adapun
besarnya lubang saringan tergantung pada ukuran butiran kristal kapur. Untuk
mempercepat proses dari bentuk cair menjadi bentuk kristal padat, hasil saringan
itu dikeraskan dengan minyak kapur barus melalui proses oksidasi. Adapun
cara lain pengambilan kristal kapur adalah dengan mengambil langsung dari
batang pohon kapur yang keluar secara alami dari pori-pori kulitnya. Untuk
pengerasan kristal kapur barus, proses yang dilakukan sama pada cara yang
pertama.
1.
Kamper
dalam sumber tertulis Arab
Sebuah teks berjudul: ahbar as si n wa
l-hind –Catatan Mengenai Cina dan India,
ditulis pada tahun 851 M. Catatan dengan tokoh utama bernama Sulayman ini
merupakan catatan awal dalam sumber tertulis Arab tentang Fansur sebagai
penghasil kamper bermutu tinggi. Disebutkan di dalamnya antara lain
adalah: “Dalam pelayaran ke Ceylon –Srilanka,
di laut ini –Laut Harkand tidak
terdapat banyak pulau tetapi tiap pulau yang dijumpai cukup luas. Walaupun
tidak ada informasi terinci mengenainya, namun dapat diketahui bahwa di
antaranya terdapat sebuah pulau bernama Lambri dengan beberapa raja yang
berkuasa. Di pulau yang mengandung banyak emas itu terdapat sebuah tempat yang
bernama Fantsour –Fansur, yakni sebutan
Arab untuk Barus yang menghasilkan banyak kamper bermutu tinggi.”
Catatan lain yang sezaman dengan catatan
di atas ditulis oleh Ibn Khordadhbeh. Karya berjudul: Kitab al-masalik
wa-l-mamalik –Buku Tentang Jalan-Jalan
dan Kerajaan-Kerajaan, itu ditulis dari sekitar tahun 850 M di Samarra –Irak. Kitab ini memberitahukan tentang
semua pos-pos pergantian dan jumlah pajak di setiap provinsi. Tersebut di
dalamnya bahwa: “Di antara Pulau Langabalos dan Pulau Kilah terdapat Pulau
Balus yang dihuni oleh manusia kanibal. Pulau ini menghasilkan kamper yang
bermutu tinggi, pisang, kelapa, tebu, dan beras.”
Kemudian dalam kamus Lisan
al’-arab yang dibuat oleh ibn Manzur –ahli
tata bahasa dari Mesir, meninggal tahun 1311 M, disebutkan bahwa istilah
kafur selain berarti kamper juga dipakai untuk suatu ramuan bumbu yang
diperoleh dari kafur al-tal’ –sejenis
daun pohon palem, juga ada kafur al-karm yaitu sejenis daun dari pohon
anggur.
Juga dalam karya dua sejarawan, Ibn
al-Atir –meninggal tahun 1233 M dan
Ibn al-Baladuri –meninggal tahun 1473 M,
tercatat bahwa pada tahun 16 H/637 M, sewaktu perebutan ibu kota Dinasti
Sassanid, yaitu Ctesiphon, penakluk-penakluk Arab menemukan kamper –yang semula dikira garam di antara
rempah-rempah dan wangi-wangian hasil rampasan. Jika cerita ini benar, maka
dapat dikatakan bahwa kamper sebagai komoditi yang dihasilkan pohon kapur sudah
dikenal pada awal zaman berkembangnya agama Islam.
Adalah ahli geografi al-Dimaški –meninggal tahun 1325 yang mencatat dalam
karyanya: Nuhbat al-dahr fi a’ ga’ib al-barr wa-l-bahr –Beberapa Keajaiban di Darat dan di Laut, bahwa Fansur menghasilkan
kamper yang terbaik. Selain memuat deskripsi rinci tentang cara mengambil
kamper, dicatat pula bahwa kamper terbaik adalah ribahi dan fançuri yang hanya
dijumpai di bagian puncak pohon atau dahan-dahan yang warnanya merah
mengkilat.
Sebetulnya sebelum dikatakan dalam
sumber yang disebut di atas, Al-Quran telah mencatat istilah kamper. Itu
terdapat dalam surat ke-76, Al-Insaan (manusia), yang berbunyi: Bukanlah telah datang atas manusia satu waktu
dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut ? Sesungguhnya
Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang
menyala-nyala. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas
(berisi minuman) yang campurannya adalah air kamper/kafur, (yaitu) mata air
(dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat
mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.
Keterangan dari sumber tertulis Arab
menyebutkan bahwa kapur barus difungsikan tidak hanya untuk pewangi saja
melainkan juga dalam pengobatan, membersihkan/merempahi tubuh mayat, bahan
campuran rempah-rempah. Bahan ini juga banyak digunakan sebelum maupun sesudah
operasi pembedahan tubuh manusia.
2.
Kamper
dalam sumber tertulis Cina
Kronik Dinasti Liang. Dalam kronik ini
digunakan istilah: polü xiang untuk kamper, dan menunjuk Funan dan Langyaxiu
sebagai daerah penghasilnya. Besar kemungkinan yang disebut Langyaxiu terletak
di pantai timur Semenanjung Malaysia. Di Asia Tenggara, daerah ini dikenal
sebagai penghasil awal Dryobalanops aromatica, sejenis kamper yang juga
terdapat di Borneo dan Barus.
Youyang zazu, karya Duan Chengshi
(863 M). Pada catatan tersebut kamper disebut: gubu polü –kapur Barus. Deskripsi ringkas tentang pohon kamper serta cara
memperolehnya menyebutkan bahwa: pohonnya setinggi 80 hingga 90 kaki dengan
lingkaran batangnya dapat mencapai enam atau tujuh jengkal. Daunnya bulat
dengan sisi belakang hitam dan tidak ada bunga atau buah.
Catatan dari masa Dinasti Tang. Diketahui
adanya istilah lain untuk menyebut kamper seperti: jiebuluo xiang dan
jiebuluo xiang –huruf yang kedua dalam
nama pertama kadangkala diganti dengan: po, misalnya poluo.
Zhufan zhi (1225 M) karya Zhao
Rugua. Dalam karya tersebut dikatakan bahwa kamper berasal dari Borneo dan Binsu
–silabel pertama menjadi ban dalam
bahasa Kanton, yang diperkirakan sama dengan Pancur –ditulis Pansur. Nama Pancur juga muncul dalam satu sumber
tertulis yang lebih muda, dengan judul Sejarah Raja-Raja Barus.
Kemudian dalam berita Cina lain yang
berasal dari abad ke-13 juga diketahui keberadaan Sriwijaya sebagai sebuah
kerajaan besar di wilayah barat Kepulauan Nusantara. Disebutkan bahwa Sriwijaya
merupakan pelabuhan tempat penimbunan komiditi yang disinggahi perahu-perahu
asing dan lokal. Ini memperlihatkan bahwa Sriwijaya telah memainkan peran
sebagai pelabuhan antara –entreport.
Para pedagang mengambil kamper yang dihasilkan dari beberapa daerah di bawah
pengaruhnya yaitu Pahang, Trengganu, Langkasuka di daerah pantai barat Semenanjung
dan Tanah Melayu. Pasokan kamper juga diperoleh dari Kalimantan dan daerah
pesisir Timur Sumatera, yang sayang sekali keberadaan tempat tumbuhnya pohon
kapur di kedua daerah tersebut sejauh ini belum banyak diceritakan sebagaimana
daerah Barus dan sekitarnya di wilayah pesisir Barat Sumatera. Selain kapur
barus ada beberapa sumberdaya alam lain yang diambil untuk diekspor ke negeri
Arab maupun Cina, diantaranya kayu gaharu, gading, timah, kayu eboni, kayu
sapan, rempah-rempah, dan kemenyan. Adapun ekspor ke negeri Cina berupa gading,
air mawar, kemenyan, buah-buahan, gula putih, cincin kristal, gelas, batu
karang, pakaian kapas, cula badak, wangi-wangian, dan bumbu masak serta
obat-obatan.
3.
Kamper
dalam sumber tertulis Eropa
Selain sumber tertulis Arab dan Cina,
sumber Eropa juga mencatat perjalanan Marcopolo ke beberapa pelabuhan di
Sumatera pada tahun 1291. Dalam catatan perjalanan itu disebut nama sebuah
tempat di bagian barat Pulau Sumatera, yakni Fansur. Disanjungnya bahwa kualitas
kamper dari negeri Fansur –toponim yang
umumnya berasosiasi dengan Barus itu sebagai yang terbaik di dunia dan
harganyapun sangat mahal.
Melalui komoditi tersebut maka negeri
Barus menjadi dikenal bangsa-bangsa di belahan Barat maupun Timur. Hal ini
tampak melalui penyebutan kapur barus dalam berbagai bahasa yang digunakan oleh
beberapa bangsa di dunia, diantaranya adalah: camphora –bahasa Latin/Yunani, al canfor –Spanyol, kamphor –Jerman, campher –Inggris,
kafura –Arab, campgre –Perancis, kamfora –Rusia, serta haboruan –bahasa
Batak.
Kemenyan, Haminjon
Kemenyan adalah getah –eksudat kering, yang dihasilkan dengan
menoreh batang pohon kemenyan (Styrax spp., suku Styracaceae; terutama S.
benzoin Dryand. dan S. paralelloneurus Perkins). Resin yang kering
berupa keping-keping putih atau keputihan, yang terbenam dalam massa coklat
bening keabuan atau kemerahan, keras namun rapuh, dan berbau harum enak.
Kemenyan ini dalam perdagangan internasional dikenal sebagai kemenyan Sumatera.
Kemenyan digunakan dalam industri farmasi sebagai bahan pengawet dan campuran
obat batuk serta dalam industri parfum sebagai bahan baku wewangian. Secara
tradisional, kemenyan digunakan sebagai campuran dupa dalam kegiatan spiritual
. Kemenyan mempunyai sifat fiksatif sehingga mengikat minyak atsiri agar tidak
terlalu cepat menguap. Penggunaan lainnya adalah sebagai bahan campuran dalam
industri rokok klembak-menyan.
Pohon Kemenyan |
Jenis komoditi unggulan yang
dibudidayakan masyarakat Kabupaten Tapanuli Utara adalah tanaman kemenyan –kemenyan dalam bahasa Batak ini disebut
dengan nama Haminjon. Tanaman kemenyan –haminjon
termasuk dalam ordo Ebanales, famili Styracaceae dan genus Styrax spp. Terdapat
dua jenis tanaman kemenyan yang diusahakan dan bernilai ekonomis yang tumbuh
tersebar terutama di Tapanuli Utara. Masyarakat menyebutnya Haminjon Toba –Styrax paralleloneurum, dan Haminjon
Durame –Styrax benzoin. Pohon
kemenyan memiliki ukuran sedang sampai besar dengan diameter antara 20 hingga 30
cm dengan tinggi mencapai 20 hingga 30 meter. Berbatang lurus dengan
percabangan yang sedikit dan kulit batang berwarna kemerahan. Kemenyan berdaun
tunggal yang tersusun spiral dan berbentuk oval, bulat memanjang dengan ujung
daun meruncing. Buah kemenyan berbentuk bulat dan lonjong dengan ukuran yang
agak kecil. Biji berwarna cokelat terbungkus dalam daging buah yang tebal dan
keras. Tempat tumbuh tanaman kemenyan bervariasi yaitu mulai dari dataran
rendah sampai dataran tinggi pada ketinggian 60 hingga 2.100 meter di atas
permukaan laut. Tanaman kemenyan tidak memerlukan persyaratan yang istimewa
terhadap jenis tanah. Dapat tumbuh pada tanah podsolik, andosol, latosol,
regosol dan berbagai asosiasi lainnya mulai dari tanah yang bertekstur berat
sampai ringan dan tanah yang kurang subur sampai yang subur. Jenis tanaman ini
tumbuh pada tanah yang berporositas tinggi sehingga mudah meresapkan air, dan
pemeliharaan tanaman kemenyan yang biasa dilakukan adalah: penyiangan,
pendangiran, penyulaman, pemupukan, penjarangan, dan perlindungan tanaman dari
hama dan penyakit. Kegiatan ini dilakukan pada tahun pertama, kedua, dan
ketiga. Penjarangan pohon pelindung perlu dilakukan secara bertahap untuk
member ruang tumbuh lebih luas kepada tanaman kemenyan, agar memperoleh banyak
sinar matahari. habitat tanaman ini hanya di sekitar dataran tinggi bukit
barisan Sumatera Utara seperti: Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi dan
Tapanuli Selatan.
Getah Kemenyan |
Di Indonesia terdapat tujuh jenis atau varietas kemenyan
(Styrax spp.) yang menghasilkan getah akan tetapi hanya dua jenis yang
lebih umum dikenal dan diusahakan di Sumatera Utara, yaitu Styrax
sumatrana J.J.SM yang disebut dengan kemenyan toba dan Styrax benzoin
DRYAND yang disebut dengan kemenyan (haminjon) durame. Dari kedua jenis
ini tersebut, jenis yang pertama lebih dominan karena memiliki kualitas
getah yang lebih baik dan bernilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan
dengan jenis yang terakhir. Ciri khas kemenyan toba (Styrax sumatrana) adalah
kandungan atau kadar asam sinamatnya cukup tinggi. Jelas bahwa jenis ini
dapat menghasilkan getah kualitas pertama dengan ciri-ciri memiliki aroma
yang lebih wangi, berwarna putih dan tidak lengket. Sedangkan ciri khas
jenis kemenyan durame (Styrax benzoin) bahwa jenis ini dapat menghasilkan
getah kemenyan seperti tahir yang memiliki kualitas getah lebih rendah
dengan ciri-ciri berwarna hitam kecoklatan dan agak lengket. Ekstraksi
kimia getah kemenyan menghasilkan tincture dan benzoin resin yang
digunakan sebagai fix active agent dalam industri parfum. Ekstraksi kemenyan
juga dapat menghasilkan beberapa senyawa kimia yang diperlukan
oleh industri farmasi antara lain asam balsamat, asam sinamat, benzyl
benzoate, sodium benzoate, benzophenone, ester aromatis dan sebagainya. Di
negara-negara industri maju seperti negara Eropa, kemenyan (Styrax spp.)
dipergunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan asam benzoate atau asam
sinamat dan ester-esternya, industri farmasi (obat-obatan), industri
kosmetika dan bahan pembuatan parfum, pabrik porselin, sabun, plastik
sintetis, bahan pengawet pada industri makanan dan sebagainya.
Memanjat Pohon Kemenyan |
Ketika memanjat pohon kemenyan, biasanya
para pemanen kemenyan akan berpijak pada sepotong kayu. Begitu pula salah satu
tangan, berpegangan pada kayu di atas. Kedua kayu yang terhubung dengan tali
itu berfungsi sebagai tangga –piranti itu
dinamakan: julu-julu. Getah pohon akan mengalir ketika batang dilukai 3
bulan sebelumnya dengan terlebih dahulu membersihkan batang dengan cuncun –besi mirip tang. Dengan demikian kulit
pohon tidak akan mengotori getah karena mengalir ke kulit yang sudah bersih.
Bila tidak bersih, kulit kayu dan getah akan mengering dan bersatu. Akibatnya
kualitas getah turun sehingga harganya anjlok. Lalu getah melekat di lubang
atau luka di kulit pohon. Sebagian lainnya meleleh di kulit pohon dan mengering.
Untuk mencongkel getah, biasanya digunakan: panuktuk –semacam pisau untuk mencongkel getah yang melekat dengan pohon. Hasil
cungkilan berupa getah yang mengering dan bercampur potongan kulit kayu, dimasukkan
ke dalam: curu-curu –wadah terbuat dari
rotan yang tersangkut di bahu. Hasil congkelan pertama menghasilkan getah
berwarna putih, getah putih itu dinamakan: sidukabi –mata zam-zam. Torehan kedua itu menghasilkan getah jalur atau
juror, umumya menuai getah jalur tersebut dilakukan 2 hingga 3 bulan setelah
memanen mata zam-zam. Setelah itu muncul getah ketiga yang disebut tahir.
Harganya jauh lebih murah daripada harga mata zam-zam dan jurur. Ada yang unik
saat memanen getah pohon kemenyan, para pemanen mengucapkan mantra: “Duruhko kemenjen, duruhko kemenjen...”,
agar pohon mengeluarkan banyak getah.
Cuncun, alat pembersih batang pohon kemenyan. |
Rujukan:
Ambary, Hasan Muarif, 1998. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan
Historis Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Drakard, Jane, 1998. Sejarah Raja-Raja Barus, Dua Naskah dari
Barus. Jakarta-Bandung: Penerbit Angkasa dan EFEO
Guillot, Claude, ed., 2002. Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Marsden, William, 1999. Sejarah Sumatera (diterjemahan oleh A.S.
Nasution dan Mahyudin Mendim). Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Ptak, Roderich, 2002. Kumpulan Rujukan Cina yang Mungkin Berkaitan
Dengan Daerah Barus (Dari Dinasti Tang sampai Dinasti Ming), dalam Claude
Guillot (ed), Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Stéphan, Nouha, 2002. Kamper Dalam Sumber Arab dan Persia Produksi
dan Penggunaannya, dalam Claude Guillot (ed), Lobu Tua Sejarah Awal Barus.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tjandrasasmita, Uka, 1993. Sejarah Nasional Indonesia III, Jaman
Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia (± 1500-1800).
Jakarta: Balai Pustaka.
Wibisono, Sonny Chr, 1986. Pemukiman Kuno Di Barus: Model Ekologi,
dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala
Jakarta.
***